News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eva K Sundari: Pancasila Harus Diajarkan untuk Menjawab Kebutuhan Masa Sekarang dan Masa Depan

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Eva K Sundari

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) meminta Kemendikbud agar dalam usulan revisi UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) pasal baru berupa pengajaran kembali Pancasila di sekolah dan kampus. 

Merespon hal tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) Satriwan Salim, menilai bahwa hal itu tidak perlu karena pendidikan Pancasila saat ini sudah dimuat dalam pelajaran PPKN.

Satriawan berargumen bahwa dari segi pedagogis antara pendidikan Pancasila dan PKN ini core kompetensinya sama. 

Dasar kompetensinya sama yaitu menyiapkan warga negara yang baik, demokratis, bertanggung jawab, punya nasionalisme yang berdasarkan kepada Pancasila. 

Tetapi faktanya, PPKN ternyata tidak bisa membendung intoleransi. 

Riset-riset oleh Wahid Foundation, Setara Institute, Universitas Nasional, UIN Jakarta menunjukkan data intoleransi di sekolah-sekolah dan kampus-kampus pada tingkat mengkhawatirkan. 

Insiden pemaksaan seragam jilbab ke siswa non muslim di Sumbar dan Riau selama 2 minggu ini merupakan bukti tentang praktek intoleransi di sekolah tersebut. 

Alissa Wahid dari Gerakan Gusdurian menjelaskan bahwa gerakan intoleransi dan radikalisme disebar para kader dari masjid-masjid kampus yang kemudian merambah ke sekolah-sekolah, kantor-kantor negara dan pemerintah daerah, termasuk ke BUMN-BUMN.

Kaderisasi oleh gerakan radikal di kampus-kampus (terutama kampus umum) memerintahkan setiap kader membuat “kemenangan-kemenangan kecil” kelak di tempat alumni bekerja. 

Amanah tersebut kelihatan sederhana tetapi dampaknya serius, yaitu praktek eksklusifisme  berwajah banyak termasuk munculnya intoleransi. Jangan lupa pula dari intoleransi kemudian bermetamorfosis menjadi radikalisme, ekstrimisme dan ujungnya terorisme. 

Jika setiap kader membuat “kemenangan kecil” maka secara simultan akan berbuah sebuah kemenangan besar yaitu formalisasi islam menggantikan tata pemerintahan NKRI. 

Dalam pendekatan hukum, formalisasi agama ini meliputi content (isi), structure (pelaksana), dan culture (praktek-praktek) dan ini jelas bertabrakan dengan konsep negara Proklamasi berdasar konstitusi (bukan agama) dengan 4 pilar konsensus kebangsaanya.

Di tingkat content of law misalnya, “kemenangan kecil” bisa dilihat dengan adanya peraturan-peraturan baru yang bernuansa intoleran atau diskriminatif. Di bidang struktur misalnya posisi-posisi strategis didominasi oleh pejabat-pejabat yang hanya dari satu kubu saja misalnya penguasaan masjid-masjid kementrian yang didominasi penceramah dari kelompok yang sama. 

Dua keberhasilan di atas akan disusul dengan praktek-praktek (culture) berdasar nilai-nilai kubu tersebut misalnya model baju seragam, kebiasaan berbahasa (asing), dan pelarangan kegiatan-kegiatan lama yang tidak sesuai ajaran kubu tersebut. 

Beralihnya karakter sekolah-sekolah negeri yang semula heterogen menjadi homogen (hanya satu agama) bisa menjadi contoh dampak serentetan kemenangan-kemenangan pada lembaga pendidikan. 

Untuk mencari perimbangan dengan menghadirkan “suara lain” dari kelompok voiceless (tidak terdengar, minoritas) yaitu guru PKN yang non muslim dan perempuan di satu sekolah SMP swasta.

Secara meyakinkan, dia memendukung usulan perlunya mata pelajaran Pancasila dari BPIP. 

Menurutnya, PKN memang mengajar siswa untuk melek hukum khususnya hukum tata negara dan HAM tapi belum mengajar moralitas (budi pekerti) hubungan antar warga negara yang beragam. 

Singkatnya, mata pelajaran Pancasila justru akan menjawab tujuan pendidikan yaitu membentuk karakter siswa sesuai nilai Pancasila sebagaimana tujuan di UU Sisdiknas. Salah satu karakter warga negara yang dibutuhkan di masyarakat multikultural Indonesia adalah toleransi yang bersumber dari sila pertama Pancasila yang menghendaki kita beragama yang berkebudayaan atau tidak boleh egois. 

Direktur Institut Sarinah, Eva K Sundari pun menilai, karakter toleransi bisa ditumbuhkan karena penghayatan Sila Ketuhanan yang Maha Esa harus dijiwai sila-sila yang lain terutama sila perikemanusiaan. 

"Ini yang akan menghindarkan warga dari sikap chauvinistik, merasa kelas superior sehingga mendorong praktek-praktek pembedaan (diskriminasi) kepada kelompok lain yang berbeda," kata Eva dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/2/2021).

Tentu saja pengajaran Pancasila tidak bisa lagi seperti jaman Orba yang berisi serba pemaksaan/indoktrinasi yang berujung juga pada penyeragaman yang juga agenda kelompok intoleran. 

Di masa demokrasi, pembentukan budi pekerti Pancasila harus demokratis misalkan menggunakan metode yang kreatif, berbasis kebutuhan lokal karena muaranya adalah siswa yang berjiwa merdeka. 

Roh Pancasila adalah pembebasan karena Pancasila adalah ideologi nasionalisme yang dibangun berdasar pengalaman bangsa Indonesia yang mengalami kolonialisasi dan penindasan. 

Sehingga Nasionalisme Pancasila berbeda dengan nasionalisme Hitler yang serumpun dengan ideologi aparteid yang tuna kemanusiaan. 

Budi pekerti Pancasila yang toleran ini yang bisa membekali siswa menghadapi era disrupsi yang mengharuskan kita bersikap lentur atau fleksibel. 

Sementara, sikap intoleran cermin pemenolakkan terhadap keberagaman (yang berkesetaraan) merupakan sikap emosional dan irasional yang tidak akan mengembangkan kapasitas siswa untuk cerdas kognitif, mental maupun spiritual. 

Selain itu, tidak hanya Pancasila sebagai Dasar Negara tetapi Pancasila sebagai kepribadian, pandangan hidup dan bahkan sebagai ideologi bangsa yang belum dan perlu diajarkan ke para siswa. Identitas bangsa sebagai masyarakat yang religius harus disertai keterangan sifat tambahan yaitu berperikemanusiaan, menjaga persatuan, demokratis dan pro keadilan sosial, alias bangsa yang menganut agama yang inklusif. 

"Jika Pancasila di masa lalu bisa menjadi pemersatu bangsa, maka Pancasila juga akan bisa mempersatukan kembali masyarakat kita yang sedang terbelah akibat politik identitas berbasis sektarian terutama agama. Pancasila harus diajarkan untuk menjawab kebutuhan masa sekarang dan masa depan," ucapnya.

Pengajaran Pancasila sebagai mata pelajaran akan melanjutkan proyek nation and character building yang sempat terhenti sejak datangnya reformasi. 

Ini sekaligus juga sebagai menguatkan pelaksanaan program baru Menteri Nadiem Makarim yaitu Merdeka Belajar. 

Sementara itu, sudah ada anggota komunitas pendidikan yang proaktif mengembangkan model-model baru pengajaran Pancasila di sekolah. SMP Pawyatan Daha 1 Kota Kediri misalnya, mengembangkan strategi integrasi nilai-nilai Pancasila ke dalam kurikulum (mainstreaming nilai Pancasila ke semua mata pelajaran) dan sudah mendapat penghargaan dari BPIP atas upaya tersebut. 

Di SMAN Balung, Jember ada model implementasi Pancasila baru yang melibatkan siswa untuk membuat prototype dan mempraktekkannya langsung. 

Metode ini diinisiasi Sri Sulistyani yang kemudian menarik perhatian Unesco sehingga dia diundang pidato di Peringatan Hari Pendidikan Dunia 2020.

Sebagai tambahan, Buku Pengajaran Pancasila untuk Paud dan SD -pun sudah ada bukunya dan ditulis oleh Bu Aqnes Purbasari dosen UI.  

Institut Sarinah telah mencetak buku “Pancasila untuk Tunas Bangsa” karya beliau dan melakukan sosialisasi ke 2000 bunda Paud dan guru SD di Jawa Timur pada tahun lalu. 

Respon peserta sangat positif dan sebagian besar menyatakan kemanfaatan buku tersebut untuk keperluan mengajar. 

Kesimpulannya, Pengajaran Pancasila harus diadakan untuk menjawab kebutuhan menangani intoleransi yang merebak serius di sekolah-sekolah, kampus-kampus dan masyarakat. 

"Secara konseptual dan bukti di lapangan sangat mungkin untuk dilaksanakan, sepatutnya tidak menjadi keraguan dan perdebatan," tuturnya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini