Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar Christina Aryani mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perlu direvisi apabila UU itu tidak memberikan rasa keadilan.
Menurut Christina, Presiden Jokowi menangkap kegusaran masyarakat yang banyak menggunakan UU ITE untuk saling melaporkan.
Baca juga: Pemerintah Buka Opsi untuk Revisi UU ITE, Begini Kata Jokowi hingga Mahfud MD
Christina pun mengakui menerima banyak masukan dari berbagai Non-Government Organization (NGO) terkait wacana revisi UU ITE tersebut.
Baca juga: Polri Janji Selektif Usut Laporan Pasal Karet, Jenderal Sigit Tak Mau UU ITE Jadi Alat Kriminalisasi
"Saya berbicara dalam kapasitas sebagai Anggota Komisi I dan Badan Legislasi sepenuhnya mendukung pernyataan Presiden. Ini memang riil terjadi di masyarakat dan saya mengapresiasi presiden yang menangkap kegusaran masyarakat," kata Christina saat dihubungi Tribunnews, Selasa (16/2/2021).
"Banyak masukan ke kami dari NGO dan masyarakat terkait urgensi revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE," lanjutnya.
Christina menjelaskan, pernyataan Presiden Jokowi itu sebenarnya meminta agar Kapolri membuat pedoman interpretasi resmi terkait pasal-pasal UU ITE yang berpotensi multitafsir.
Pedoman itu selanjutnya digunakan oleh institusi kepolisian dalam menerima laporan atau menjalankan penyelidikan/penyidikan.
Apabila dalam level peraturan tersebut (peraturan kapolri atau surat edaran kapolri) problem multifasir maupun saling lapor sudah bisa dieliminir maka revisi UU ITE belum diperlukan.
"Namun jika ternyata implementasi di lapangan masih tidak sesuai dengan harapan, maka revisi UU ITE menjadi satu-satunya jalan keluar," ucap Christina.
Lebih lanjut, meski mendukung pernyataan Presiden Jokowi, Christina bersikap rasional jika revisi UU ITE itu terwujud.
Baca juga: Jokowi: Kalau UU ITE Tak Bisa Beri Rasa Keadilan, Saya akan Minta DPR untuk Merevisi
Dia mengatakan, proses revisi UU membutuhkan waktu. Prolegnas Prioritas 2021 pun sudah tinggal menunggu pengesahan tingkat dua di level yakni di Rapat Paripurna.
"Sehingga kemungkinan baru bisa masuk di Prolegnas Prioritas 2022 kecuali ada rapat kerja lagi antara Baleg dan Pemerintah (Menkumham) dan kemudian Pemerintah yang mengajukan revisi RUU ini," ujar Christina.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti banyaknya masyarakat yang saling melaporkan ke polisi dalam beberapa waktu belakangan ini. Para pelapor menggunakan pasal Undang-undang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE).
Dalam rapat pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin, (15/2/2021). Presiden mengatakan akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE, bersama pemerintah, apabila undang-undang tersebut tidak memberikan rasa keadilan.
"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini," kata Jokowi.
Baca juga: Jokowi Minta Polri Selektif Terima Aduan Pelanggaran UU ITE
Revisi UU ITE tersebut kata presiden terutama dilakukan pada pasal-pasal karet yang multi tafsir. Pasal-pasal yang bisa ditafsirkan secara sepihak.
" UU ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini, revisi," katanya.
Meskipun demikian kata Presiden ruang digital di Indonesia tetap harus dijaga. Tujuannya agar ruang digital di Indoensia sehat dan beretika.
"Agar penuh dengan sopan santun, agar penuh dengan tata krama, dan produktif," pungkasnya.
Sebelumnya banyaknya pelaporan polisi kepada orang-orang yang bersebrangan dengan pemerintah mendapatkan sorotan sejumlah pihak.
Salah satunya Wakil Presiden Jusuf Kalla.
JK mempertanyakan cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil oleh Polisi.
"Presiden mengumumkan, silakan kritik pemerintah. Tentu banyak pertanyaan, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?" kata Jusuf Kalla dalam acara diskusi virtual yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat (12/2/2021) dikutip dari Kompas Tv.
Hal itu tersebut, kata Jusuf Kalla (JK), harus diupayakan agar kritik terhadap pemerintah tidak berujung pada pemanggilan oleh kepolisian.
Menurut JK, kritik sangat diperlukan dalam pelaksanaan sebuah demokrasi.
"Harus ada check and balance. Ada kritik dalam pelaksanaannya," katanya.
Di acara diskusi virtual bertema "Mimbar Demokrasi Kebangsaan" ini, JK juga mengingatkan kepada PKS sebagai partai oposisi untuk melakukan kritik kepada pemerintah.
Karena keberadaan oposisi penting untuk menjaga kelangsungan demokrasi.
"PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu. Agar terjadi balancing, dan agar terjadi kontrol di pemerintah."
"Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik," tutur JK.
Diingatkan JK, indeks demokrasi di Indonesia saat ini dinilai menurun menurut The Economist Intelligence Unit (EIU).
"Tentu ini bukan demokrasinya yang menurun, tapi apa yang kita lakukan dalam demokrasi itu," ujarnya.
Menurutnya, ada hal-hal obyektif yang tidak sesuai dengan dasar-dasar demokrasi. Dalam demokrasi, warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Masalah utama dalam demokrasi itu disebabkan oleh mahalnya demokrasi itu sendiri. Sehingga demokrasi tidak berjalan dengan baik.
"Untuk menjadi anggota DPR saja butuh berapa? Menjadi bupati dan calon pun butuh biaya. Karena demokrasi mahal. Maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi."
"Di situlah terjadinya menurunnya demokrasi. Kalau demokrasi menurun, maka korupsi juga naik. Itulah yang terjadi," papar JK.