TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, beredar kabar 2 mantan menteri yang korupsi dinilai layak dituntut hingga pidana mati, yakni Eks Menteri KKP Edhy Prabowo dan Eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
"Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK."
"Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ucap Eddy, seperti pemberitaan Tribunnews sebelumnya, Selasa (16/2) lalu.
Baca juga: Terlibat Peredaran Narkoba, 6 Petugas Lapas di Riau Jalani Pidana di Nusakambangan
Baca juga: Kejaksaan Agung Kini Punya Jaksa Agung Muda Pidana Militer
Pernyataan Eddy ini, lantas mendapat tanggapan dari berbagai pihak terkait.
Dari pengamat politik, hingga Ketua Komnas HAM.
Berikut tanggapan pengamat hingga Ketua Komnas HAM terkait Pernyataan jika 2 eks menteri layak dituntut pidana mati:
1. Tanggapan Refly Harun: Ada Perbedaan antara Kedua Kasus Eks Menteri
Pengamat hukum ketatanegaraan Refly Harun angkat suara soal pernyataan Wamenkumham menilai 2 eks menteri dinilai layak mendapat pidana mati.
Refly melihat ada sedikit perbedaan diantara dua kasus dugaan suap pada 2 mantan menteri itu.
Menurutnya, kasus Juliari tidak hanya tindakan suap tapi betul-betul korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Juliari, menurut saya, tidak hanya dikenakan tindak pidana suap, tapi betul-betul tindak pidana korupsi."
"Karena jelas itu merugikan keuangan negara, menyalahgunakan jabatan, melawan hukum dan lain sebagainya."
"Unsurnya itu udah ada, dia benar-benar memotong uang bansos yang merupakan uang negara," terang Refly pada YouTube-nya, Kamis (18/2/2021).
Bagi Refly, dana yang dikorupsi Juliari itu benar- benar pemberian uang negara, yang hanya berputar tempat saja.
"Cuma muter uangnya. Jadi, dapet proyek, dipotong. Lalu, dikasih Juliari," jelas Refly.
Berbeda halnya pada kasus mantan menteri KKP, yang menurutnya memang menerima suap.
Selain itu, ia menuturkan, penerapan pidana mati nantinya juga perlu melihat pandangan dunia Internasional.
Banyak negara lain yang menghapus hukuman pidana mati, karena dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Aspirasi dunia internasional perlu juga kita lihat, karena dianggap hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan HAM, yaitu The Right of Life," tutur Refly.
Ia menegaskan, kedua eks Menteri itu jangan sampai diberi hukuman yang ringan.
Melihat korupsi dilakukan di masa pandemi dan jelas mencatut pejabat negara.
Baca juga: Kompol Yuni Purwanti Terjerat Narkoba, Kapolda Jabar: Terancam Dipecat atau Dipidanakan
2. Mantan KPK Agus Rahardjo: Menteri Dimiskinkan dan Eksistensi Sosial Dimatikan
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut Indonesia dapat mencontoh negara Singapura dalam menghukum para pejabat koruptor.
Menurutnya, hukuman yang paling tepat bagi koruptor ialah mematikan eksistensi sosial mereka.
"Kalau saya, tepat apa yang dilakukan Singapura. Hukuman koruptor itu bukan mati, tapi eksistensi sosialnya dimatikan," kata Agus, dikutip dari diskusi virtual YouTube Medcom.id, Minggu (21/2/2021).
Eksistensi yang dimaksud, koruptor tak dapat menikmati fasilitas apapun setelah tertangkap, seperti dilarang memiliki rekening dan mendirikan usaha.
Lalu, harta kekayaan yang dimiliki koruptor juga dapat disita negara sampai habis.
"Jadi, dimiskinkan dulu. Harta yang dinikmati kemudian dirampas semua. Setelah dikembalikan kerugian negara, eksistensi berikutnya seperti bukan manusia lagi."
"Sampai punya rekening enggak boleh, punya usaha enggak boleh," terang mantan Ketua KPK itu.
Pernyatan Agus itu dikeluarkan dalam menanggapi statement Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej beberapa waktu lalu.
Dimana, Eddy mengatakan hukuman mati layak bagi koruptor, khususnya pada kasus dugaan suap Eks Menteri KKP Edhy Parbowo dan Eks Mensos Juliari P. Batubara.
Baca juga: Kapolsek Astana Anyar Terlibat Narkoba: Kapolda Sebut Dipecat atau Dipidana, IPW Minta Hukuman Mati
3. Ketua Komnas HAM: Hukuman Mati Diterapkan bagi Pelaku Pelanggaran HAM Berat, Koruptor Tak Termasuk
Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik ikut bersuara terkait pidana mati yang dinilai layak bagi 2 eks menteri yang korupsi.
Ia menuturkan, dalam aturan internasiobal, korupsi tak masuk kategori pelanggran yang pelakunya bisa dipidana mati.
"Hukuman mati hanya diizinkan pada tindak pidana the most serious crime (pelanggaran HAM berat). Itu ada genosida, kejahatan kemanusiaan, kemudian agresi, dan kejahatan perang."
"Korupsi, narkoba, dan lain-lain tidak termasuk," ujar Taufik, dikutip dari Kompas.com. Minggu (21/2/2021).
Taufik mengakui, beberapa aturan di Indonesia masih menerapkan pidana mati, satu diantaranya kasus narkoba.
Menurut hasil judicial review tahun 2007, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, pidana mati tak berlawanan dengan UUD 1945.
Namun, pidana mati di Indonesia nantinya bisa mengundang kontroversi, khususnya dari dunia internasional.
"Ini belum selaras dengan hukum di tingkat global meskipun masih diberikan peluang negara yang menerapkan hukuman mati boleh diterapkan."
"Untuk the most serious crime ini jadi persoalan yang penting didiskusikan," ucap Taufik.
Ia menyebut, diskursus penerapan pidana mati itu perlu memperhatikan rasionalitas.
"Ini harus kita kembangkan jadi diskursus yang rasional," kata dia," ujar Taufik.
(Tribunnews.com/Shella/Ilham Rian)(Kompas.com/Achmad Nasrudin)