TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar, mempertanyakan kemampuan DPR dalam hal legislasi atau pembuatan suatu Undang-Undang.
Hal itu disampaikannya lantaran masih adanya pasal karet dan multitafsir dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Merespons hal itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi menjelaskan, pembentukan suatu UU merupakan kesepakatan antara DPR dan pemerintah.
"Itu orang tidak paham proses pembentukan Undang-Undang yang selalu menitikberatkan kepada DPR. Bilang ke teman-teman TII itu bahwa proses pembentukan Undang-Undang itu dari DPR bersama pemerintah," kata Baidowi saat dihubungi Tribunnews, Senin (22/2/2021).
Baidowi mengatakan dalam pembentukan UU ITE 2008 lalu, DPR telah mengundang para pakar dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
UU ITE yang dihasilkan memang sudah baik sesuai perkembangan zaman di kala itu.
"Kalau kemudian hari ini ternyata ada pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat yaitu biasa saja tidak, ada yang istimewa," ucap politikus PPP itu.
"Dan ini kan bukan kitab suci. Jadi sebuah produk Undang-Undang dikatakan bagus di 20 tahun yang lalu hari ini belum tentu sesuai sehingga harus dilakukan revisi," ucapnya.
Baleg, kata Baidowi, terbuka untuk merevisi UU ITE jika ada kesepakatan dengan pemerintah.
Sama seperti revisi UU ITE yang dilakukan pada 2016 lalu.
"Saya kira begitu ya kalau mau direvisi bukan sesuatu yang istimewa, biasa saja, proses politik yang normal dan itu memang proses legislasi biasa saja, dan kesepakatan pemerintah bersama DPR yang tentunya sudah mendengarkan masukan-masukan dari para pakar didalamnya," ujarnya.
Baca juga: Ada Pasal Karet dalam UU ITE, Kemampuan Legislasi DPR Dipertanyakan
Diberitakan sebelumnya, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar, mempertanyakan kemampuan DPR dalam hal legislasi atau pembuatan suatu Undang-Undang.
Hal itu disampaikannya menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta DPR merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jika tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Dalam penerapannya, adanya pasal karet dan multitafsir membuat UU ITE kerap dijadikan alat untuk saling lapor.
Demikian disampaikan Adidan dalam diskusi daring Para Syndicate bertajuk 'Revisi UU Pemilu dan UU ITE: Substansi, Sensasi, Masturbasi Demokrasi?', Jumat (19/2/2021).
"Ini jadi menarik karena kalau mau dikaitkan dengan DPR, sebenarnya kemampuan mereka membuat legisasi itu seperti apa? resources-nya seperi apa? sehingga kadang-kadang prosesnya jadi membuat parah satu legisasi yang multitafsir dan day to day dia malah mengancam kebebasan sipil kita," kata Adinda.
Adinda mengatakan, dalam iklim demokrasi partisipasi publik diperlukan untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan.
Namun, ketika kritik tersebut malah disambut dengan persekusi, buzzer dan ancama pidana maka hal itu sangat mengkahwatirkan.
UU ITE seolah menjadi alat legitimasi untuk memidanakan orang-orang kritis.
"Ketika ada peraturan perundang-undangan yang sebenarnya mengizinkan bahkan mengamanahkan partisipasi masyarakat, seharusnya ini disambut baik bukan malah dipersekusi, dihadapkan oleh buzzer bahkan dihadapkan pada hukum pidana. Itu sangat menyeramkkan karena kita sendiri tidak punya kuasa berhadapan dengan kekuasaan hukum negara apalagi aparat hukum," ucapnya.