TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf khusus Edhy Prabowo, Safri Muis mengaku diberikan uang 26 ribu dolar Singapura atau Rp 277,4 juta oleh Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito yang juga Terdakwa kasus dugaan suap izin ekspor benur.
Safri mengakui pemberian uang itu saat jaksa menyinggung pertemuan antara dirinya dengan Suharjito di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Dalam pertemuan itu, ia menyebut tak terjadi perbincangan dengan Suharjito. Terdakwa begitu saja memberikan uang valuta asing tersebut.
"Dia kasih uang ke saya pak," ucap Safri dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/2/2021).
"Berapa?" tanya jaksa.
"Kalau nggak salah 26 ribu, dolar Singapura" jawab Safri.
Baca juga: Ketika Eks Menteri KP Edhy Prabowo Siap Dihukum Mati: demi Masyarakat
Kemudian jaksa bertanya apa alasan Suharjito memberikan uang senilai Rp277 juta itu kepada dirinya. Safri mengaku tak mengetahui secara pasti.
Tapi menurutnya pemberian uang itu lantaran usaha ekspor benur perusahaan milik Suharjito berjalan lancar.
"Saya pikir dia kasih saya karena usaha lobsternya sudah lancar, dan kasih saja (uang) ke saya," pungkas Safri.
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Suharjito didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada Edhy.
Suap diberikan melalui perantaraan Safri dan Andreau Misanta selaku staf khusus Edhy, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy yang juga anggota DPR RI Iis Rosita dan Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sekaligus pendiri PT Aero Citra Kargo (ACK).
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.
PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp1.800 per ekor.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri.
Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.
Edhy diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap.
Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.