TRIBUNNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil minta pemerintah libatkan lembaga independen dalam tim kajian UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Satu diantara alasannya, yakni tim kajian itu dinilai akan berat sebelah nantinya, karena banyak libatkan pemerintah saja.
Yang dimaksud lembaga independen itu, Komisi Nasional untuk Hak Asasi manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan).
"Pemerintah harus melibatkan pihak-pihak independen seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam Tim Kajian UU ITE," kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dikutip dari Kompas.com, Selasa (23/2/2021).
Diketahui, pemerintah telah membentuk tim kajian UU ITE beberapa waktu lalu, yang terdiri dati tiga kementerian.
Isnur meyakini, tim kajian yang sudah dibentuk itu tak akan membuahkan hasil yang diharapkan masyarakat.
Baca juga: Polisi Bakal Peringatkan Pengunggah Konten Berpotensi Kena ITE, Ini Mekanismenya
Baca juga: Komnas HAM Harap Pemerintah Lebih Terbuka dan Partisipatif dalam Proses Revisi UU ITE
Penilaian Isnur itu pun didasari atas beberapa alasan, dikutip dari siaran pers laman YLBHI, Selasa (23/2/2021)
Pertama, tidak adanya keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga, seperti Komnas HAM yang selama ini menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet UU ITE.
Lalu, ada Komnas Perempuan yang selama ini terima aduan terkait laporan korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 27 ayat 3 UU ITE saat memerjuangkan haknya sebagai korban.
Selama ini pasal karet UU ITE ini, menunjukkan lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa (penguasa, pengusaha, atau aparat).
Sehingga, hampir dapat dipastikan pemillihan tim kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut.
Maka dari itu, Tim kajian UU ITE dinilai akan berat sebelah dalam melakukan kajian, terutama menitik beratkan pada aspek legalistik formal.
Baca juga: Komnas HAM dan Bareskrim Polri Gagas Tata Kelola Penanganan Kasus Terkait UU ITE dalam Kerangka HAM
Baca juga: Pimpinan DPR Dorong Pemerintah Segera Revisi UU ITE
Serta, dinilai akan menutupi situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet UU ITE.
Kedua, Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai tim kajian UU ITE itu justru dipimpin oleh orang yang selama ini dinilai berpotensi menghambat upaya revisi dan dinilai tak memiliki komitmen untuk memperbaiki pasal karet terkait.
Koalisi ini melihat pasal karet UU ITE itu memang bermasalah dan telah memidana banyak jurnalis, aktivis pembela HAM, akademisi dalam menyampaikan ekspresi dengan mengedepankan fakta dan bermartabat.
Penunjukan komposisi Tim Kajian UU ITE yang dinilai bermasalah ini memberi pesan adanya ketidakseriusan pemerintah menjalankan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut koalisi ini, sulit bagi masyarakat berharap banyak pada tim kajian UU ITE itu karena melihat banyak melibatkan pemerintah saja.
Koalisi ini tergabung dari beberapa pihak, LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIpP, dan WALHI.
Pertimbangan Pembentukan, Susunan, dan Tugas Tim Kajian UU ITE
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaman Mahfud MD mengumumkan pemerintah telah membentuk Tim Kajian UU ITE pada Senin (22/2/2021) di Kantor Kemenko Polhukam RI Jakarta Pusat.
Rincian terkait tim tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Nomor 22 tahun 2021 tentang Tim Kajian Undang-Undang tentang Informasi, dan Transaksi Elektronik.
Dalam salinan keputusan tersebut yang diterima Tribunnews.com pada Senin (22/2/2021) ada dua pertimbangan dibentuknya tim tersebut.
Pertama, bahwa dalam rangka menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan, perlu dilakukan pengkajian secara komprehensif dengan melibatkan kementerian dan lembaga yang melaksanakan dan memiliki tugas perumusan kebijakan hukum di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Kedua, bahwa setelah berlaku sejak tanggal 21 April 2008, pelaksanaan UU ITE ternyata menimbulkan kontroversi karena ada yang menilai memuat pasal-pasal yang terlalu lentur atau pasal karet (haatzai artikelen).
Baca juga: Kapolri Keluarkan SE Terkait UU ITE, Ada 11 Pedoman Yang Harus Diperhatikan Seluruh Personel
Sehingga untuk merespon pendapat-pendapat masyarakat tersebut, pada acara pembukaan Rapat Pimpinan Nasional TNI-POLRI tanggal 15 Februari 2021 Presiden mengarahkan perlunya dilakukan pengkajian baik terkait kriteria implementatif maupun terkait perumusan substansinya.
Tim tersebut terdiri dari dua yakni Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.
Tim Pengarah diisi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Komuninasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Tim tersebut bertugas memberi arahan dan rekomendasi melalui koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian kementerian/lembaga dalam rangka menyelesaikan kajian implementasi peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Baca juga: Mahfud MD Bentuk 2 Tim Untuk Bereskan Masalah UU ITE
Tim Pelaksana diketuai oleh Sugeng Purnomo (Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan).
Sekretaris Tim Pelaksana dijabat Imam Marsudi (Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Bidang Sosial Budaya).
Ketua dan Sekretaris Tim Pelaksana bertugas mengoordinasikan pengumpulan informasi dari aparat penegak hukum dan/atau masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Kedua, mengoordinasikan penyusunan kajian hukum terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Ketiga mengoordinasikan pengkajian atas substansi peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Keempat memberikan rekomendasi atas peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan rasa ketidakadilan masyarakat.
Kelima, melaporkan pelaksanaan penyusunan kajian hukum peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik secara periodik kepada Pengarah.
Tim Pelaksana terdiri dari dua Sub Tim.
Sub Tim I yang selanjutnya disebut Tim Perumus Kriteria Penerapan UU ITE bertugas merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal tertentu dalam UU ITE yang sering dianggap menimbulkan multitafsir.
Sub Tim I diketuai Henri Subiakto (Staf Ahli Bidang Hukum, Kementerian Komunikasi dan Informatika) dengan Sekretaris dijabat Brigjen Pol Yan Fitri Halimansyah (Kepala Biro Sundokinfokum, Divisi Hukum, Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Sub Tim II yang selanjutnya disebut Tim Telaah Substansi UU ITE melakukan telaahan atas beberapa pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan revisi.
Sub Tim II diketuai Widodo Ekatjahjana (Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Sekretaris dijabat Baringin Sianturi (Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kejaksaan Republik Indonesia).
Dalam pelaksanaan tugasnya Tim Pelaksana dapat dibantu oleh akademisi, praktisi, tenaga ahli, korban atau pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media sebagai narasumber untuk mendapatkan berbagai masukan.
Tim Kajian UU ITE tersebut bertugas mulai hari ini sampai dengan tanggal 22 Mei 2021.
"Karena ini diskusi maka perlu waktu. Kita memberi waktu sekitar dua bulan agar ini terus digarap. Sehingga nanti tim ini akan laporan ke kita, apa bentuknya, apa hasilnya. Sembari menunggu dua atau tiga bulan, Polri dan Kejaksaan penerapannya supaya betul-betul tidak multitafsir, tetapi orang merasa adil. Oh ya, ini ternyata benar. Tidak hanya berlaku kepada si A, tetapi juga si B karena semua unsur itu sudah terpenuhi di situ," kata Mahfud.
(Tribunnews.com/Shella/Gita Irawan)(Kompas.com/Achmad Nasrudin)