TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Duta Besar Indonesia (Dubes) untuk Selandia Baru dan negara sekeliling Pasifik, Tantowi Yahya menyatakan keinginannya mengubah stigma soal Selandia Baru dan Negara Pasifik di kalangan eksportir Indonesia.
Pasalnya negara-negara tersebut kerap dianggap sebelah mata dikalangan produsen, eksportir maupun investor dari Indonesia dengan alasan jarak yang jauh dan potensi pasar yang kecil.
Banyak eksportir Indonesia yang berpikiran pragmatis, sehingga Selandia Baru dan 20 negara di pasifik ini belum banyak disentuh dan kurang diperhatikan oleh perdagangan Indonesia.
“Banyak yang berpikiran pragmatis. Nampak ini tok, seperti ngurusi pasar yang penduduknya cuma 6 hingga 7 juta. Kenapa saya tidak memikirkan pasar-pasar yang dekat saja, misalnya di Kabupaten Bogor itu udah 5 juta penduduknya,” ujar Tantowi Yahya dalam wawancara khusus dengan Tribunnews, Selasa (9/3/2021)
Pragmatisasi eksportir Indonesia ke Selandia Baru dan negara-negara Pasifik itu yang menurutnya akhirnya membuat arus produk Indonesia ke Pasifik itu tidak pernah besar.
Karena kebanyakan eksportir dan pedagang Indonesia hanya melihat bahwa dagangannya harus untung dan volumenya besar.
Dubes Tantowi tidak menampik berbicara pasifik, berarti berbicara kumpulan negara-negara kecil atau negara kepulauan yang jumlahnya kurang lebih ada 20 negara.
Kebanyakan negara ini range pendudukan 200 ribu hingga 2 juta orang yang terbesar yaitu Papua New Guinea (PNG).
“Yang kami terus gelorakan, khususnya di era saya di 4 tahun ini adalah bahwa presensi produk itu adalah presensi dari negara kita,” kata Dubes RI.
Padahal menurutnya dengan adanya produk Indonesia di rak-rak negara-negara kecil itu, maka secara langsung sudah menciptakan awareness terhadap Indonesia itu sendiri.
Baca juga: Cerita Dubes Tantowi Yahya tentang Kontribusi Koperasi Menopang Perekonomian New Zealand
Masyarakat di Selandia Baru dan wilayah Pasifik tidak mengenal Indonesia dengan baik, meskipun Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terkuat di Asia Tenggara.
Malahan negara-negara Asia Tenggara lainnya cukup terkenal di kalangan masyarakat Selandia Baru dan masyarakat di wilayah Pasifik.
“Sekarang di negara-negara Pasifik ketika kita berbicara Indonesia, mereka tidak begitu kenal. Mereka lebih kenal dengan Malaysia, Thailand, Vietnam, lewat produk,” kata Tantowi.
Tantowi mengatakan adanya produk tersebut secara tidak langsung merepresentasikan dan memperkenalkan negaranya ke masyarakat di daerah Selandia Baru dan Pasifik.
Tidak mudah bagi pihaknya sendiri untuk mengubah stigma dikalangan eksportir Indonesia yang menganggap Pasifik merupakan pasar yang kecil dan penyerapan produk juga tidak banyak.
Tantowi mengkhawatirkan jika stigma tersebut tidak segera diatasi, Indonesia akan dirugikan secara image.
“Pada sisi ini kita tertinggal, padahal di Asia kita adalah ekonomi terbesar dan negara terbesar. Tapi dari level of awareness kita masih dibelakang negara-negara tersebut,” ujarnya.
Padahal, Selandia Baru memiliki penduduk sekitar 5 juta dan termasuk negara yang paling makmur di dunia.
Selandia Baru memiliki GDP USD 206,9 miliar dengan GDP per kapitanya NZD 42.710.
Pertumbuhan ekonomi Selandia Baru bahkan disaat pandemi terus tumbuh, walaupun ada penurunan, namun tetap surplus 1,5 persen.
Selandia Baru memiliki orientasi ekspor, sehingga hampir seluruh produk yang dihasilkan negara ini lebih dari 75 persen diperuntukan untuk mengisi pasar ekspor.
“Selandia Baru sangat aktif dalam perjanjian perdagangan di dunia, termasuk dengan Indonesia,” katanya.
Selandia Baru juga banyak melakukan impor dari berbagai negara, seperti produk makanan jadi, ban mobil yang tidak bisa mereka produksi sendiri.
Namun produk impor dari Indonesia sendiri kalah dibandingkan produk impor dari negara Asia Tenggara lainnya di Selandia Baru.
"Kita kalah diserbu oleh produk serupa dari negara-negara Asia Tenggara lain. Indonesia sedikit sekali. Kami sudah beberapa kali melakukan pendekatan pada produsen kita, namun alasannya seperti yang saya sebutkan tadi," ujarnya.