TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI fraksi PKS Mulyanto, mendesak pemerintah kembali memasukkan abu batu bara sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun atau limbah B3.
Alasannya, saat masih dikategorikan sebagai limbah B3 saja, pengelolaan FABA (fly ash and bottom ash) ini masih banyak dikeluhkan publik.
Apalagi jika bahan tersebut dianggap bukan limbah B3. Maka, patut diduga limbah tersebut akan dikelola secara serampangan.
Mulyanto meminta pemerintah berlaku adil dan memperhatikan kepentingan kesehatan dan lingkungan masyarakat luas, jangan kalah pada desakan pengusaha.
"Negara diperintahkan oleh Pembukaan Konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta menjalankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak malah untuk membuat keputusan sepihak yang membahayakan kesehatan dan lingkungan masa depan bangsa ini, seperti dihapuskannya abu batubara ini dari kategori sebagai limbah B3," kata Mulyanto kepada wartawan, Jumat (12/3/2021).
Seperti diketahui selama ini pengelolaan limbah abu batu bara sering menimbulkan keluhan masyarakat.
Pembuangan cairan limbah batu bara yang disalurkan ke laut ditengarai berdampak pada kehidupan nelayan yang sulit mendapatkan ikan. Mengingat 91 persen PLTU umumnya berada di pesisir.
Baca juga: Pembuangan Limbah Berpotensi Jadi Media Penularan Covid-19
Sedangkan limbah abu batu bara yang mengudara dan didemo warga seperti di Cilacap, Marunda, Suralaya, dan tempat-tempat lainnya diduga menyebabkan infeksi saluran pernapasan (ISPA).
"Apatah lagi bila FABA ini tidak dikategorikan sebagai limbah B3. Maka dapat dipastikan aspek kehati-hatian dalam pengelolaan (transportasi, handling, treatment dan disposal) FABA akan semakin kendor," ujarnya.
"Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), harus bisa menjelaskan soal ini kepada publik secara terang-benderang. Apa dasar riset kesehatan lingkungan yang telah dilakukan, sehingga secara ilmiah terbukti bahwa abu batubara bukanlah limbah yang berbahaya dan beracun? Karenanya bisa dicabut dari kategori B3," lanjutnya.
Mulyanto menambahkan, otoritas lingkungan hidup, sebagai garda terdepan yang dipercaya masyarakat sebagai penjaga kesehatan lingkungan publik, jangan mau didikte oleh para pengusaha dengan mengorbankan kesehatan publik.
Karena dari berbagai riset, termasuk yang dilakukan badan Litbang Kementerian ESDM, dalam limbah batubara banyak mengandung logam berat seperti tembaga, arsenik, kromium, merkuri, timbal, dan lain-lain tergantung jenis batu baranya.
Zat-zat yang bersifat racun dalam abu batu bara ini diperkirakan tidak hanya mencemari tanah, udara dan air setempat, tetapi juga akan menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia melalui rantai makanan.
Mulyanto menanyakan, mana prinsip kehati-hatian (prudensial), yang biasanya dianut oleh otoritas lingkungan hidup.
"Meski diketahui, bahwa limbah abu batubara bermanfaat untuk berbagai keperluan, karena dapat diolah menjadi berbagai produk batako, konkret penahan ombak, tanah urugan, dll, namun tidak berarti dampak kesehatan lingkungan dari limbah dengan volume raksasa tersebut dapat diabaikan," kata Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Seperti diketahui, berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementrian ESDM pada tahun 2018, proyeksi kebutuhan batu bara hingga tahun 2027 mencapai sebesar 162 juta ton.
Prediksi potensi FABA yang dihasilkan, dengan asumsi 10 persen dari pemakaian batubara, adalah sebesar 16,2 juta ton. Jumlah yang sangat besar.
Di sisi lain, Mulyanto menambahkan, bahwa strategi ketenagalistrikan nasional ke depan dengan memperhatikan cadangan energi dan kesehatan lingkungan adalah dengan mengejar ketertinggalan bauran dari sumber energi baru-terbarukan (EBT) dan akan terus-menerus mengurangi listrik dari sumber energi fosil termasuk PLTU ini.
Namun pada praktiknya di lapangan pemerintah tidak konsisten. Penambahan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW justru masih didominasi oleh PLTU bukan oleh EBT.
"Ketika negara-negara lain ramai mengurangi PLTU dan beralih ke EBT kita malah menggenjot PLTU. Ditambah lagi dengan perubahan kategori limbah abu batubara yang tidak lagi sebagai limbah B3, maka artinya kita bukannya sedang “ngerem” energi fosil tadi justru sedang ngegas. Ini kan tidak konsisten," pungkanya.