TRIBUNNEWS.COM – Pengamat Ekonomi Ardo R. Dwitanto angkat bicara terkait penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI terhadap BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK). Ardo menegaskan, penurunan nilai investasi saham BPJAMSOSTEK berbeda secara mendasar pada investasi saham pada Jiwasraya dan Asabri. Paling tidak ada empat hal yang menjadi pertimbangan.
“Pertama, emiten-eminten yang sahamnya dibeli BPJAMSOSTEK merupakan emiten-emiten yang juga dibeli para investor saham pada umumnya. Kedua, penurunan nilai investasi saham BPJAMSOSTEK disebabkan resiko pasar. Ketiga, risiko pasar yang dialami BPJAMSOSTEK setelah dilakukan diversifikasi saham mengikuti indeks pasar saham. Keempat, penurunan nilai investasi saham BPJAMSOSTEK tidak berdampak pada kemampuan dalam pembayaran klaim,” beber Ardo dalam keterangan tertulis.
Bahkan, lanjut dia, emiten-emiten pilihan dari BPJAMSOSTEK merupakan penghuni tetap Indeks LQ45 dan sebagian besar merupakan penghuni indeks saham investasi global. Yaitu, MSCI Indonesia Index, diantaranya BBCA, BBRI, TLKM, BMRI, ASII, UNVR, BBNI, dan UNTR. MSCI Indonesia Index merupakan indeks acuan bagi investor global ketika berinvestasi saham di Indonesia.
“BPJAMSOSTEK memiliki profil risiko investasi saham cenderung konservatif, yakni mengikuti indeks pasar saham. Emiten-emiten saham yang berada dalam portofolio investasi BPJAMSOSTEK merupakan penghuni tetap indeks pasar,” tegas Ardo.
“Dengan kata lain, semua emiten tersebut, pada umumnya, merupakan emiten-emiten pilihan utama para investor karena memiliki kinerja yang bagus, mapan, dan memiliki kapitalisasi pasar saham yang besar atau big caps,” imbuhnya lagi. Penurunan nilai investasi saham BPJAMSOSTEK, sambung Ardo, disebabkan risiko pasar.
Semua investasi memiliki dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu potensi untung dan potensi rugi (resiko). Mengejar potensi untung (return) yang tinggi berarti harus menerima pula potensi rugi (resiko) yang tinggi. Sebaliknya, potensi untung yang rendah diikuti pula oleh potensi rugi yang rendah. Ini yang dinamakan dengan risk-return trade-off.
Meskipun terjadi unrealized loss pada investasi saham, secara keseluruhan nilai dana kelola investasi BPJAMSOSTEK meningkat terus sejak tahun 2015. Per Desember 2015, nilai dana investasi BPJAMSOSTEK sebesar Rp 206,05 triliun dan meningkat terus hingga akhir tahun 2020 nilai dana investasinya sebesar Rp 486,38 triliun atau meningkat sebesar 137%.
“Ini merupakan bukti bahwa manajemen risiko investasi yang diterapkan oleh BPJAMSOSTEK telah membuahkan hasil portofolio investasi yang tahan uji terhadap stock market crash akibat lonjakan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19,” tambah Ardo.
Bahkan, tambah Ardo, sejak 2016, imbal hasil JHT berhasil dipertahankan di atas rata-rata bunga deposito bank pemerintah. Di tahun 2017, imbal hasil JHT mencapai 7,83% per tahun. Sedangkan, di tahun 2020 imbal hasil JHT sebesar 5,59% per tahun, tetap di atas rata-rata bunga deposito bank pemerintah, yaitu sebesar 3,62% per tahun. Ini membuktikan komitmen dari BPJAMSOSTEK untuk menjaga sustainable growth nilai investasi di atas rata-rata bunga deposito bank pemerintah.
Selain itu, BPJAMSOSTEK tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran klaim peserta. Hal ini tercermin dalam kenaikan pembayaran klaim tahun 2020 sebesar 22,82%, yakni sejumlah Rp. 36,94 Triliun. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai investasi saham BPJAMSOSTEK tidak berdampak pada kemampuan BPJAMSOSTEK dalam pembayaran klaim peserta.
“Unrealized loss belum benar-benar mengakibatkan kerugian selama saham-saham yang mengalami kerugian tidak dijual. Ketika saham-saham yang mengalami kerugian dijual, unrealized loss menjadi kenyataan. Jika itu dilakukan, maka terjadi transaksi yang merugikan. Bukti dari sebuah transaksi yaitu adanya biaya transaksi yang dikeluarkan, yang dimana itu tidak ada ketika masih unrealized loss,” tutup Ardo. (*)