TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mencabut Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) pada 2 Februari 2021.
Pakar kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai keputusan ini tepat karena FABA mempunyai banyak manfaat sehingga bisa dijadikan sebagai teknologi baru.
“Sebelumnya FABA itu jumlahnya banyak dan sulit dikendalikan sehingga dimasukan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna,” ujar Agus dalam Polemik Trijaya, Selasa, (16/03/2021).
Baca juga: PLN Optimalkan Pemanfaatan FABA untuk Infrastruktur dan Konstruksi
Agus menambahkan, pencabutan FABA dari daftar limbah B3 juga bisa mempersempit ruang gerak mafia yang bermain dalam pengelolaan limbah, sehingga berpotensi merugikan pengelola Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Tempat pengelolaan limbah itu seluruhnya ada di pulau Jawa. Jika PLTUnya ada di Papua atau Sulawesi maka harus diangkut ke pulau Jawa dengan menghabiskan ongkos yang banyak,” ujar Agus.
Namun dengan kebijakan baru pemerintah, pengelolaan FABA kini bisa lebih mudah karena lagi tidak memerlukan dokumen Amdal.
"PLTU harus selalu mencari tanah kosong yang baru untuk limbah agar tidak tertimbun tinggi. Sementara untuk mengelola FABA dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga 400 jutaan, disinilah timbulnya praktik mafia,” ujar Agus.
Baca juga: Rosa Vivien: FABA Hasil Pembakaran Batubara Wajib Dikelola
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Prof. Nurul Taufiqurochman menyatakan, secara umum komposisi FABA itu sama dengan tanah lempung.
Di dalamnya terkandung banyak silika. Di mana silika di Jepang itu adalah pupuk sekunder yang dipakai untuk tanaman padi, kelapa sawit, dsb.
“Silica itu dari 35% sampai 60% bahkan kandungannya ya. Itu bagus makanya dipakai untuk remediasi untuk pupuk tanaman dan sebagainya. Kedua adalah alumina dan yang berikutnya lagi magnesium, ini bagus untuk tanaman. Ya magnesium, kemudian kalsium, yang sedikit-sedikit lagi besi, ya besi oksida tanah kita kan itu besi oksida. Dan yang kecil-kecil lagi ada malah fosfor, ada kalium, dan natrium, itu bagus untuk tanaman,” katanya.
Akademisi sekaligus Peneliti FABA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Januarti Jaya Ekaputri mengatakan, penghapusan FABA dari B3 merupakan hadiah bagi Bangsa Indonesia, yang seharusnya dilakukan puluhan tahun lalu.
Januarty menyebut, pihak berbahagia atas peraturan ini adalah orang yang betul-betul mendudukan, bahwa bahan tidak beracun memang tidak beracun. Bahan berbahaya, menurutnya, belum tentu beracun.
“Ini adalah hadiah terbesar buat Indonesia. Saya melihat dari kacamata bangsa dan negara ini, dari sisi infrastruktur. Dari sisi infrastruktur pembangunan jalan massif banget, kalau ini (FABA) bisa dimanfaatkan, alangkah hebatnya Indonesia,” jelas Januarty yang telah memetakan fly ash di seluruh Indonesia, di bawah koordinasi PLN, sehingga mengetahui sifat dan karakteristik FABA serta uji racunnya.
Baca juga: WALHI Desak Jokowi Cabut Aturan Pelonggaran Limbah Batu Bara dan Sawit
Pemegang gelar doktor teknik sipil ini mengungkapkan, FABA juga bisa menjadi pengurang semen.
"Fly ash bisa menggantikan semen maksimum 50 persen tinggal diatur kemampuan dan karakter masing-masing. Kita harus berpikir lingkungan, bahwa ada alternatif lain, pengganti kapur sebagai bahan semen 100 persen. Bisa dijadikan bahan antibakar, sehingga bangunan tidak mudah terbakar, dan antikorosi, yang akan menimbulkan inovasi sebagai baru, seperti break water. FABA dalam jumlah banyak sebagai pelindung pantai di Indonesia," ungkapnya.