TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.
“Tingkat literasi Indonesia pada penelitian di 70 negara itu berada di nomor 62,” ujar Staf ahli Menteri dalam negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro pada Rapat kordinasi nasional bidang perpustakaan tahun 2021.
Lebih lanjut, Kepala Perpusnas M Syarif Bando mengatakan persoalan Indonesia adalah rendahnya tingkat literasi.
Literasi sendiri adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan.
Rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia ditengarai karena selama berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia hanya berkutat pada sisi hilir.
Syarif mengatakan sisi hilir yang dimaksud yakni masyarakat yang terus dihakimi sebagai masyarakat yang rendah budaya bacanya.
“Otomatis karena diklaim sebagai bangsa yang rendah budaya bacanya, maka rendah pula indeks literasinya,” ujarnya.
Baca juga: Gelar Rakornas, Perpusnas Kuatkan Peran Perpustakaan Tingkatkan Budaya Literasi
Stigma tersebut yang mengakibatkan Indonesia menjadi rendah daya saingnya, rendah indeks pembangunan SDM-nya, rendah inovasinya, rendah income per kapitanya, hingga rendah rasio gizinya.
Itu semua akhirnya berpengaruh pada rendahnya indeks kebahagiaan warga Indonesia itu sendiri.
Maka perlu adanya sisi hulu, termasuk peran negara yang dapat menghadirkan buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dari Sabang sampai Merauke, termasuk bagi masyarakat yang tinggal di pelosok.
“Disana (negara) ada eksekutif, legislatif, yudikatif. Ada pula peran para pakar dari akademisi, ada swasta, para penulis dan penerbit,” ujarnya.
Total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09.
Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun, sehingga Indonesia memiliki tingkat terendah dalam indeks kegemaran membaca.
“Standar UNESCO minimal 3 buku baru untuk setiap orang setiap tahun,” ujarnya.
Di negara Asia Timur seperti Korea, Jepang, China, rata-rata memiliki 20 buku baru bagi setiap orang.
Ini menjadi tantangan bagi negara dan paling mendasar, kenapa budaya membaca di Indonesia rendah.
Salah satu solusi yang bisa ditempuh untuk mengurangi rasio keterbatasan buku secara nasional berdasarkan hasil diskusi dengan sejumlah pemangku kepentingan di daerah adalah agar para Bupati, Walikota, dan Gubernur bertanggung jawab untuk menuliskan buku-buku yang sesuai dengan lokal konten.
Termasuk terkait asal usul budayanya, asal usul geografisnya, termasuk potensi SDA, potensi wilayah, pariwisata di masing-masing daerah itu untuk menghadirkan bahan bacaan yang proper dengan kearifan budaya di masing-masing daerah bagi penduduk di daerah itu.
“Lagipula, apakah relevan buku yang ditulis di Jakarta harus didistribusikan bagi saudara kita yang ada di Papua yang terkait lokal konten? Maka, mudah-mudahan tahun ini kita punya komitmen bersama untuk mengatasi keterbatasan bahan bacaan ini,” kata Syarif.