Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum Jhoni Allen Marbun, Slamet Hasan mengakui gugatan kliennya kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Cs mengambil referensi dari kasus gugatan Fahri Hamzah melawan PKS beberapa waktu silam.
Hal ini ia sampaikan usai sidang agenda pembacaan surat gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (24/3/2021).
Diketahui Jhoni menggugat tiga orang petinggi Partai Demokrat atas tindakan pemecatan sepihak.
Ketiga tergugat itu adalah Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (tergugat I), Sekjen PD Teuku Riefky Harsya (tergugat II), dan Ketua Dewan Kehormatan PD Hinca Panjaitan (tergugat III).
"Kami menggunakan kasus pemecatan Fahri Hamzah itu sebagai salah satu referensi bahwa ini seharusnya (pemecatan Jhoni Allen) ini punya yurisprudensi," ujar Slamet Hasan.
Menurut dia, kasus pemecatan Jhoni Allen dan Fahri Hamzah punya kemiripan. Yakni pemecatan tersebut dilakukan tanpa mengikuti aturan yang berlaku.
Keduanya sama-sama tidak memberikan ruang untuk memberi klarifikasi atau membela diri.
"Pak Fahri Hamzah pada saat itu dipecat juga tidak diberikan kesempatan untuk membela diri atau tidak ada klarifikasi. Tahu-tahu dikirim surat pemecatan oleh kurir mirip seperti yang dilakukan oleh Demokrat terhadap Jhoni Allen," ucap dia.
Sebagai informasi, Fahri Hamzah dipecat oleh Majelis Tahkim PKS pada 11 Maret 2016 lalu karena dinilai melanggar kode etik partai.
Fahri dinilai terlalu bersikap membela Ketua DPR Setya Novanto yang saat itu terlibat kasus 'Papa Minta Saham'.
Fahri menggugat PKS dan meminta ganti rugi Rp 30 miliar.
Sementara Jhoni Allen menggugar AHY Cs membayar ganti rugi sebesar Rp 55,8 miliar atas pemecatan sepihak dirinya dari anggota dan kader Partai Demokrat.
Baca juga: Jhoni Allen Gugat AHY Cs Rp 55,8 Miliar, Ini Rincian Potensi Kerugiannya Dipecat dari Demokrat
Baca juga: Partai Demokrat Kubu AHY Sebut Gugatan Jhoni Allen Marbun Prematur dan Tidak Berdasar
Jhoni menyebut Pasal 18 Ayat (4) Kode Etik Partai Demokrat yang dijadikan dasar pemecatannya sebagai pasal otoriter yang cuma memakai pendekatan kekuasaan.
Partai Demokrat disebut mempraktikkan gaya machtstaat atau negara kekuasaan, dan justru mengesampingkan prinsip negara hukum.
Kode Etik Partai Demokrat itu dinilai mengesampingkan hukum positif karena tak membutuhkan klarifikasi untuk memutus pemecatan seseorang yang masih diduga melakukan pelanggaran.
Gaya penyelesaian masalah di tubuh Partai Demokrat dianggap sudah melanggar asas negara hukum dan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena produk hukum Partai Demokrat itu sudah mengurangi hak kemerdekaan, pikiran dan hati nurani penggugat, maka Pasal 18 Ayat (4) dinilai mengandung cacat hukum. Sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.