TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bukan merupakan sebuah RUU yang dapat menyelesaikan semua masalah kesusilaan.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Badan Legislasi DPR-RI, Diah Pitaloka pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komnas Perempuan, Senin (29/3/2021) lalu.
“Meski bukan RUU super, namun substansi yang terdapat di dalam RUU ini menunjukkan bahwa negara peduli dan ingin memberikan perlindungan terbaiknya kepada warganya terkait dengan permasalahan kesusilaan,” lanjut Diah, yang juga Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI.
Baca juga: Baleg DPR Setuju Harmonisasi Revisi UU Kejaksaan
Sebelumnya, RUU P-KS dimasukkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Hal tersebut untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang menginginkan adanya perlindungan yang berkaitan dengan kesusilaan, khususnya kekerasan seksual.
“RUU ini memiliki substansi yang jelas dalam mendefinisikan kekerasan seksual yang selama ini membuat masyarakat gelisah, pengesahan RUU ini akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat yang gelisah tersebut,” kata Diah, yang juga Ketua Kaukus Perempuan Indonesia.
Diah Pitaloka juga mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Komnas Perempuan dan koalisi masyarakat sipil dalam mempresentasikan dan mengusulkan naskah yang diberikan kepada Baleg DPR-RI.
“Terima kasih saya kepada Komnas Perempuan dan koalisi masyarakat sipil yang sudah memberikan dukungan terbaik kepada RUU ini, dan tugas kami sebagai DPR kini adalah mengawal dan memastikan agar RUU dapat disahkan menjadi sebuah produk hukum tetap yang berlaku di Indonesia,” lanjut Diah, yang merupakan Anggota DPR-RI dari Dapil Jabar III.
Baca juga: Baleg Pantau Implementasi UU 18 Tahun 2012 untuk Dorong Kemandirian Pangan di Sulsel
Sebelumnya, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi memaparkan bahwa koalisi masyarakat sipil dan Komnas Perempuan mengusulkan ada enam hal yang menjadi komponen penting di dalam RUU P-KS ini.
Enam hal tersebut adalah pencegahan, sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, sanksi pidana, hukum acara pidana, hak korban, dan pemantauan.
“Enam hal ini akan menjadi komponen utama dalam memberikan perlindungan yang komprehensif bagi korban, dan hukuman yang jelas dan sesuai bagi pelaku kekerasan seksual,” Siti Aminah mengakhiri.