TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tangan kanan Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Muhammad Fahmi tidak hadir dalam pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (30/3/2021) kemarin.
Fahmi yang merupakan Koordinator Staf Khusus Nurdin selaku Gubernur Sulsel itu harusnya diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa perizinan dan pembangunan infrastruktur di Sulsel yang menjerat Nurdin sebagai tersangka.
Tak hanya Fahmi, seorang saksi lainnya bernama Abd Rahman juga tidak hadir dalam pemanggilan pemeriksaan Selasa kemarin.
Baca juga: KPK Telusuri Aliran Uang Gubernur Nonaktif Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah Kepada Pihak Lain
Kepada penyidik, Fahmi dan Abd Rahman meminta pemeriksaan mereka dijadwalkan ulang.
"Keduanya tidak hadir dan mengonfirmasi untuk dilakukan penjadwalan pemanggilan kembali," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (31/3/2021).
Dalam mengusut kasus dugaan suap dan gratifikasi Nurdin Abdullah ini, tim penyidik kemarin memeriksa dua orang swasta bernama Raymond Ferdinand Halim dan Virna Ria Zalda.
Terhadap Raymond, tim penyidik mencecarnya mengenai berbagai proyek yang digarap Dinas PUTR Pemprov Sulsel.
Sementara terhadap Virna, tim penyidik mencecarnya mengenai aliran dana ke berbagai pihak, termasuk kepada Nurdin Abdullah melalui Sekretaris Dinas PUTR Pemprov Sulsel Edy Rahmat.
"Virna Ria Zalda (swasta), antara lain dikonfirmasi terkait dugaan aliran sejumlah uang ke berbagai pihak diantaranya rersangka NA (Nurdin Abdullah) melalui Tersangka ER (Edy Rahmat)," kata Ali.
Baca juga: Tiga Saksi Diperiksa terkait Kasus Gubernur Nonaktif Sulsel Nurdin Abdullah
Selain Nurdin, KPK juga telah menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Edy Rahmat (ER) selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel atau orang kepercayaan Nurdin dan Agung Sucipto (AS) selaku kontraktor/Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB).
Nurdin diduga menerima total Rp5,4 miliar dengan rincian pada 26 Februari 2021 menerima Rp2 miliar yang diserahkan melalui Edy dari Agung.
Selain itu, Nurdin juga diduga menerima uang dari kontraktor lain di antaranya pada akhir 2020 Nurdin menerima uang sebesar Rp200 juta, pertengahan Februari 2021 Nurdin melalui ajudan-nya bernama Samsul Bahri menerima uang Rp1 miliar, dan awal Februari 2021 Nurdin melalui Samsul Bahri menerima uang Rp2,2 miliar.
Atas perbuatannya, Nurdin dan Edy sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara Agung disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.