Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan membagikan beragam cara generasi milenial yang terpapar paham radikal membohongi orang tua mereka
Ken Setiawan mengatakan, bagi mereka yang menganut paham radikal mengambil harta orang tua adalah halal hukumnya.
"Karena kita menganggap harta di luar kelompok boleh diambil. Harta musuh kita ambil untuk perjuangan. Termasuk mengambil harta orang tua. Ini juga yang banyak dilakukan kalangan milenial yang sudah tergabung kelompok radikal saat ini," kata Ken dalam bincang dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domuara D Ambarita di kantor Redaksi Tribunnews.com Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Ken sendiri adalah mantan perekrut kelompok radikal di awal dekade 2000-an. Dia mengaku lembaganya menerima banyak laporan kasus penipuan anak terhadap orang tuanya untuk membiayai kegiatan kelompok mereka.
Baca juga: Cara Jaringan JAD Makassar Rekrut Anggota Baru, Incar Klaster Keluarga
Dia mengatakan, ada seorang anak yang mengaku dihipnotis dan menghilangkan motor milik kawannya kemudian datang bersama kawannya tersebut dan mengadu kepada orang tuanya.
Baca juga: Asal-usul Senjata Airgun yang Digunakan Terduga Teroris ZA Masih Misterius
Padahal kawannya tersebut juga bagian dari kelompok radikal.
Ada pula seorang mahasiswa asal Bandung yang kuliah di universitas ternama di Yogyakarta mengaku kepada orang tuanya memecahkan alat laboratorium seharga Rp 300 juta.
Baca juga: Misteri Isi Map Warna Kuning yang Dibawa Terduga Teroris ZA Saat Serang Mabes Polri
Orang tuanya awalnya tidak percaya anaknya tergabung dalam kelompok radikal karena anaknya tersebut selalu berkomunikasi dengannya.
"Bahkan telepon katanya anaknya di kampus, padahal kata dosennya anaknya sudah drop out, dan mereka sudah tergabung ke kelompok radikal," kata dia.
"Anaknya jadi DPO karena merekrut kawan-kawannya. Jadi akhirnya kalau memang di kampus, telepon terus bertemu di ruangan. HP dimatiin, sampai sekarang anaknya hilang entah di mana," ujarnya.
Ada pula mahasiswa kampus di Jawa Barat yang menipu orang tuanya dengan cara lain.
Mahasiswa yang sempat bergabung di NII namun kini pindah ke organisasi lain itu, kata Ken, melamar ke empat perusahaan teknologi informasi dengan identitas palsu.
Setelah bekerja satu bulan, ia mengatakan kepada rekan dan atasan di kantornya bahwa orang tuanya meninggal dan meminta sumbangan.
"Kebetulan ibunya kenal, tiga minggu tidak pulang. Ibunya tanya ke kantor, menanyakan anaknya. Dia ditanya, 'Lah ibu siapa? katanya orang tuanya sudah meninggal'. Dia juga jual mobil orang tuanya. Jadi ini luar biasa," kata Ken.
Meski cerita-cerita tersebut miris, menurut Ken penanganan yang salah terhadap kasus serupa bisa menimbulkan masalah baru.
Banyak orang tua, kata dia, yang melihat anaknya berubah mengkafirkan orang tua dan pulang-pulang langsung bercadar.
Mereka ada yang mengira anaknya kesambet dan memanggil orang pintar.
"Dipasung anaknya di rumah dalam waktu 1,5 tahun. Itu perempuan, sekarang rambutnya botak. Penanganan yang salah juga menimbulkan korban semakin tertekan. Dia ingin dialog, kalau memang salah di mana salahnya dan mana yang benar," kata Ken.