TRIBUNNEWS.COM - PascaKementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) menolak pengesahan Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB), saling serang pernyataan masih terjadi antara kubu Agus Harimurti Yudhoyono dengan kubu Moeldoko.
Di sisi lain, kubu Moeldoko menyatakan bakal meneruskan langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dihimpun Tribunnews.com, Selasa (6/4/2021), berikut rangkumannya:
1. Kubu Moeldoko Pastikan Bakal Gugat ke Pengadilan
Setelah ditolak oleh Kemenkumham, Demokrat kubu Moeldoko bakal mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Baca juga: Keputusan Menkumham Tolak Hasil KLB Demokrat Dinilai Sudah Tepat
Kubu Moeldoko meyakini, gugatan mereka akan dikabulkan.
"Putusan Kemenkumham ini bukan akhir dari perjuangan demokrasi kami di DPP Demokrat Pimpinan Bapak Moeldoko. Ini baru babak awal, tahapan berikutnya adalah pertarungan di pengadilan."
"Apakah itu di Pengadilan Negeri atau di Pengadilan Tata Usaha Negara dan bahkan nanti bisa sampai ke Mahkamah Agung," kata Juru Bicara Partai Demokrat pimpinan Moeldoko, Muhammad Rahmad, yang dikutip dari tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Senin (5/4/2021).
2. Kubu Moeldoko Klaim Miliki Hak sama dengan Kubu AHY
Meski pengesahan Partai Demokrat hasil KLB ditolak oleh Kemenkumham, kubu Moeldoko mengklaim pihaknya masih memiliki hak yang sama dengan kubu AHY dalam hal penggunaan simbol dan atribut partai.
Dikatakan Muhammad Rahmad, saat ini ada dua Partai Demokrat, yakni Demokrat pimpinan Moeldoko dan pimpinan AHY.
Salah satunya nanti akan bisa mengklaim Partai Demokrat secara legal.
Apabila sudah ada keputusan inkrah dari MA.
"Tidak bisa kita pungkiri saat ini ada dua Partai Demokrat, satu pimpinan Bapak Moeldoko, satu pimpinan AHY."
"Dan salah satu akan bisa mengklaim kepemilikan Partai Demokrat nanti secara legal, apabila sudah ada keputusan ingkrah dari Mahkamah Agung," tegas Rahmad.
Baca juga: Hasil KLB Sumut Ditolak Kemenkumham Gugurkan Tudingan Moeldoko Libatkan Istana pada Kisruh Demokrat
Sehingga sebelum ada keputusan inkrah terkait Partai Demokrat, maka kedua belah pihak berhak untuk menggunakan simbol Partai Demokrat.
"Jadi sebelum ada keputusan Ingkrah terkait Partai Demokrat ini, jadi kedua belah pihak, termasuk seluruh kader-kader yang ada di seluruh Indonesia di pimpinan Bapak Moeldoko punya hak yang sama menggunakan simbol-simbol Partai Demokrat," sambungnya.
3. Saling Desak Minta Maaf ke Jokowi
Dua kubu baik kubu Moeldoko maupun kubu AHY saling mendesak agar meminta maaf terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kubu Moeldoko mendesak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY untuk meminta maaf ke Jokowi karena tuduhan Jokowi terlibat dalam KLB.
"Kami mengharapkan pak SBY, AHY dan pengikutnya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada bapak Presiden Jokowi, kepada Kemenkumham, kepada pemerintah, dan khususnya kepada bapak Moeldoko karena telah menebarkan fitnah karena telah menuduh-nuduh bahwa pemerintah terlibat di dalam pengambilalihan Partai Demokrat," kata Muhammad Rahmad.
Ia pun menekankan, kisruh yang terjadi di Partai Demokrat adalah murni masalah internal.
Sehingga, hal itu mematahkan asumsi tentang keterlibatan pemerintah dalam gejolak di Partai Demokrat.
"Ini sekali lagi tidak membuktikan sama sekali bahwa pemerintah terlibat. Ini adalah murni konflik internal Partai Demokrat," jelas Rahmad.
"Bapak Moeldoko juga diundang, diajak oleh kader. Jadi tuduhan yang disampaikan SBY, AHY kepada publik adalah tuduhan yang tidak benar."
"Itu hanya tuduhan yang membuat kegaduhan di tengah masyarakat kita," lanjut jubir Demokrat KLB.
Baca juga: Partai Demokrat Versi KLB Ditolak, Pengamat: Tuduhan Cikeas Bahwa Istana Terlibat Tak Terbukti
Sementara itu, Partai Demokrat kubu AHY juga mendesak permintaan maaf dari kubu Moeldoko.
"Gerombolan Moeldoko yang harus minta maaf kepada rakyat dan presiden."
"Mereka mesti minta maaf kepada rakyat, karena dua hal," ujar Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, seperti diberitakan Tribunnews.com, Sabtu (3/4/2021).
Herzaky menegaskan, kubu Moeldoko sudah membuat bising ruang publik dengan narasi-narasi bohong dan fitnahnya.
Sehingga, menurutnya tidak ada nilai positif yang bisa diambil dari perilaku gerombolan Moeldoko selama dua bulan ini.
"Tidak ada nilai-nilai demokrasi yang bisa diteladani. Justru gerombolan Moeldoko selama dua bulan ini mempertontonkan perilaku yang tidak menaati hukum dan mengabaikan etika, moral, serta kepatutan," kata dia.
Selain itu, permintaan maaf kepada Presiden Jokowi pun dinilai harus dilakukan.
Sebab, Moeldoko sendiri seharusnya fokus pada tugasnya membantu presiden.
"Gerombolan Moeldoko juga harus minta maaf kepada presiden. Bolak-balik membawa-bawa nama presiden dalam berbagai kesempatan."
"Malah mencoba membenturkan presiden dengan Partai Demokrat yang sah, di bawah kepemimpinan AHY."
"Padahal, Presiden Joko Widodo hubungannya sangat baik dengan Partai Demokrat," ungkapnya.
Herzaky pun mempertegas, kubu AHY sama sekali tidak pernah menuding keterlibatan Presiden Jokowi dalam gejolak di Partai Demokrat.
4. Kubu Moeldoko Sarankan AHY Maju Lagi di Pilgub DKI
Partai Demokrat kubu Moeldoko menawarkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk maju pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2024.
Hal itu disampaikan juru bicara Partai Demokrat Kongres Luar Biasa (KLB) Deliserdang, Muhammad Rahmad, membalas pernyataan politikus Demokrat, Rachland Nashidik, soal menawarkan Moeldoko maju pilgub DKI.
"DPP Partai Demokrat Pimpinan Pak Moeldoko justru berniat mengusulkan AHY untuk kali kedua sebagai calon Gubernur DKI Jakarta," kata Rahmad kepada wartawan, Minggu (4/4/2021).
Diketahui, AHY pernah berkontestasi du Pilgub DKI 2017.
Menurut Rahmad, kala itu AHY terlihat serius maju untuk menjadi DKI 1 dengan berhenti dari kariernya di militer.
"Kami melihat, AHY sangat serius untuk melanjutkan kariernya yang terhenti tiba tiba di militer."
"Tentunya keputusan SBY yang meminta AHY berhenti dari militer dengan pangkat mayor adalah pertimbangan AHY yang akan diusung menjadi Gubernur DKI," ucapnya.
Baca juga: SMRC: Elektabilitas Demokrat Posisi 4 Besar
Rahmad berujar, jika AHY tak menghitung akan menang, maka tidak akan mundur dari karier di militer.
Namun, perlu diuji apakah elektabilitas AHY mampu bisa mengalahkan gubernur petahana Anies Baswedan atau tidak.
"Tentu perlu diuji apakah tingkat popularitas dan elektabilitas AHY sudah bisa mengalahkan Anies Baswedan," ujar Rahmad.
5. Razman Arif Nasution Mundur dari Kepengurusan kubu Moeldoko
Setelah pengesahan KLB ditolak oleh Kemenkumham, pengacara Razman Arif Nasution yang menjabat sebagai Ketua Advokasi dan Hukum Partai Demokrat kubu Moeldoko menyatakan mundur.
”Setelah saya pertimbangkan empat hari terakhir, saya akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari Ketua Advokasi dan Hukum DPP Demokrat hasil KLB Sibolangit, 5 Maret 2021 yang lalu,” kata Razman di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (2/4/2021).
Tak hanya mundur sebagai pengurus, Razman juga mengundurkan diri sebagai koordinator tim hukum pembela Partai Demokrat untuk pemberi kuasa 10 orang atas nama Jhoni Allen Marbun dan kawan-kawan dalam menghadapi gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Razman menegaskan pengunduran dirinya tidak atas kepentingan kelompok mana pun maupun atas suruhan pihak tertentu.
Ia memastikan, keputusan mundurnya murni dari diri sendiri.
”Pengunduran diri saya sama sekali tidak ada kepentingan kelompok siapapun, tidak ada atas suruhan siapapun, tidak ada untuk menghianati untuk siapapun. Tapi ini murni dari saya sebagai seorang RAN,” ucapnya.
Razman mengungkapkan salah satu alasannya mundur karena ia merasa tak dilibatkan dalam pengurusan berkas permohonan kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Ia mengaku sempat mempertanyakan kelengkapan berkas permohonan Demokrat hasil KLB Deli Serdang ke sejumlah pengurus, termasuk soal kelengkapan syarat DPC dan DPD.
Namun, menurut dia, saat itu sejumlah pengurus menyatakan ada tim khusus yang menangani masalah tersebut.
"Saya sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan itu dan tidak ada klarifikasi. Saya sudah pernah tanya ini, kata Menkumham ada kelengkapan yang harus dibuat dilengkapi. Saya tanya ke pengurus, salah satu pengurus tapi malah dibilang 'saya belum tahu nanti kita cek'. Idealnya menurut saya ini dirapatkan dengan orang orang hukum, saya ketua tim advokasi hukum bukan didiamkan, kata dia.
Baca juga: Pemerintah Tolak Kubu Moeldoko, Ketua DPC Demokrat Surabaya : Keadilan Masih Ada
Alasan lain mengapa ia mundur, kata Razman, adalah karena ia merasa tak nyaman dengan keberadaan mantan narapidana korupsi, Muhammad Nazaruddin, di internal partai.
Razman mengaku tak nyaman dengan keberadaan eks Bendahara Umum Partai Demokrat era Anas Urbaningrum itu di internal partai.
"Saya merasa tak nyaman saja. Banyak hal hukum yang menurut saya dia (Nazaruddin) tak perlu campuri. Dan itu ada perdebatan-perdebatan itu," kata Razman.
(Tribunnews.com/Daryono/Nuryanti/Vincentius Jyestha/Faryyanida Putwiliani/Chaerul Umam)