"Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku," bunyi poin lainnya.
Kesembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.
Kesepuluh, kepolisian dilarang membawa media dan melakukan siaran langsung saat proses penangkapan pelaku kejahatan. Hanya anggota Polri yang berkompeten yang boleh melakukan dokumentasi.
"Terakhir, tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak," tutup telegram itu.
Kritik dari Kontras
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar menyebut penerbitan surat telegram Kapolri mengenai larangan media siarkan arogansi dan kekerasan polisi berpotensi membahayakan kebebasan pers.
"ST (surat telegram) tersebut berbahaya bagi kebebasan pers karena publik diminta percaya pada narasi tunggal negara. Sementara polisi minim evaluasi dan audit atas tindak-tanduknya, baik untuk kegiatan luring maupun daring," ujar Rivanlee melalui pesan singkat, Selasa (6/4/2021).
Rivanlee mengatakan saat ini tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Polri tengah menurun.
Namun, langkah yang dilakukan Polri seharusnya tidak dengan menutup akses terhadap media.
Seharusnya, kata dia, pembenahan institusi secara struktural harus dilakukan sampai dengan ke tingkat lapangan.
Sebaliknya, penerbitan surat telegram tersebut justru akan membuat publik semakin tidak puas.
"Terlebih lagi, banyak catatan dari penanganan aksi massa yang brutal. Publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih ketegasan," tegas Rivanlee.
Polri: Hanya Berlaku Internal
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak melarang media konvesional untuk menayangkan jika ada anggota Polri yang dianggap menyalahgunakan tugasnya melakukan kekerasan.