News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Cabut Larang Media Liput Kekerasan, Surat Telegram Kapolri Hanya Berumur Sehari

Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram mengenai peliputan media massa di lingkungan Polri.

Surat telegram itu terkait kegiatan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

Namun, baru sehari surat telegram itu langsung dicabut alias dibatalkan, lantaran menuai pro kontra dan mendapat sorotan sejumlah kalangan.

Pada Senin 5 April 2021 Jenderal Sigit mengeluarkan surat telegram yang ditujukan kepada para Kapolda dan Kabid Humas jajaran.

Dalam poin-poinnya, Kapolri meminta agar media tidak menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

Hal itu termaktub dalam poin pertama dalam telegram tersebut.

”Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis," tulis Sigit dalam telegram tersebut dan dikutip pada Selasa (6/4).

Baca juga: Reaksi Wali Kota Rahmat Effendi Soal Penipuan Mantan Pemain Timnas Sepakbola Sekaligus Anak Buahnya

Selain itu Kapolri juga meminta agar rekaman proses interogasi kepolisian dalam penyidikan terhadap tersangka tidak disediakan.

Termasuk kata dia, tidak ditayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

Kemudian, beberapa poin lainnya berkaitan dengan kode etik jurnalistik.

Misalnya seperti tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan atau kejahatan seksual.

Lalu, menyamarkan gambar wajah dan identitas korban serta keluarga kejahatan seksual, serta para pelaku.

Baca juga: Pamer Alat Vital di Kelapa Gading, Pria Ini Ditangkap Polisi dan Jadi Tersangka

Sigit juga meminta agar media, tidak menayangkan secara eksplisit dan rinci mengenai adegan bunuh diri serta identitas pelaku.

Termasuk, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

Masih merujuk pada telegram itu, Kapolri meminta agar penangkapan pelaku kejahatan tidak mengikutsertakan media.

Kegiatan itu, juga tidak boleh disiarkan secara langsung.

"Dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten," tambah Listyo.

Terakhir, Sigit mengatakan bahwa tata cara pembuatan dan pengaktifan bahan peledak tak boleh ditampilkan secara rinci dan eksplisit.

Telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 ini ditandatangani oleh Kadiv Humas Pol, Inspektur Jenderal Argo Yuwono atas nama Kapolri. 

Telegram bersifat sebagai petunjuk arah (Jukrah) untuk dilaksanakan jajaran kepolisian.

Baca juga: Aksi Pria Pamer Alat Vital di Kelapa Gading Dilakukan Sejak 2018

Surat telegram Kapolri itu kemudian mendapat sorotan sejumlah kalangan.

Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ilham Bintang menilai  Kapolri salah alamat jika melarang media konvensional menayangkan adanya anggota Polri yang dianggap menyalahgunakan tugasnya melakukan kekerasan.

Ilham menilai surat telegram itu seharusnya ditujukkan kepada media Polri ataupun stasiun televisi yang bekerjasama dengan Polri.

”Saya pikir Telegram Kapolri itu salah alamat kalau ditujukan kepada media pers. Mungkin itu memang buat media-media Polri yang selama ini bekerjasama dengan terutama stasiun TV, membuat program buser dan kawan-kawannya," kata Ilham dalam keterangannya, Selasa (6/4).

Dijelaskan Ilham, sumber hukum pers di Tanah Air adalah UU Pers Nomor 40 tahun 1999 yang merupakan produk reformasi.

Aturan ini secara hukum jauh di atas surat telegram Kapolri.

"Jadi menurut saya bukan untuk media pers. Kalau pun dimaksudkan untuk media pers, saya harus mengatakan itu salah alamat. Derajat telegram itu jauh di bawah UU Pers. Mustahil peraturan yang berada di bawah, seperti Telegram Kapolri mengalahkan UU yang berada di atasnya," ungkap dia.

Baca juga: Bareskrim Gerebek Sindikat Pengoplos Gas Bersubsidi di Meruya, Rugikan Keuangan Negara Rp 7 Miliar  

Lebih lanjut, Ilham menambahkan Kapolri seharusnya menerbitkan surat telegram yang berisikan larangan personel Polri melakukan kekerasan daripada melarang menyiarkannya.

"Kalau buat pers justru itu penting diberitakan sebagai koreksi kepada polisi. Yang benar, Kapolri harus melarang polisi bersikap arogan dalam melaksanakan tugas. Sudah pasti tidak ada video yang merekam peristiwa itu untuk disiarkan," bebernya.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Arif Zulkifli meminta Polri menjelaskan telegram Kapolri itu.

Menurut Arif, isi dari telegram tersebut masih belum jelas apakah ditujukan untuk media internal Polri atau media massa secara umum.

"Polri harus menjelaskan telegram tersebut apakah pelarangan tersebut berlaku untuk media umum atau media internal atau kehumasan di lingkungan kepolisian," ujar Arif.

Arif tidak menginginkan ada kebingungan atau salah tafsir dalam mengimplementasikan TR Kapolri tersebut.

"Jangan sampai terjadi kebingungan dan perbedaan tafsir. Terutama jika kapolda di daerah menerapkannya sebagai pelarangan media umum," ucapnya.

Baca juga: Reaksi Munarman Namanya Tertulis di Benda Mencurigakan di Depok dan Kesaksian Pedagang Buah Lontar

Tak hanya dari kalangan pers, surat telegram itu juga mendapat sorotan dari anggota DPR. Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir mengatakan bakal meminta penjelasan Kapolri untuk menjelaskan maksud telegram tersebut.

"Terkait telegram itu aparat atau media itu kan harus jelas juga, harus dipertanyakan, kalau media kan harus menyebarkan sebenar-benarnya sesuai dengan fakta di lapangan. Jadi tentunya kami ingin mengkarifikasi ke Pak Kapolri khususnya terkait dengan maksud dari telegram itu terkait dengan peredaran gambar kekerasan," kata Adies di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/4).

Politikus Partai Golkar itu juga mempertanyakan, apakah telegram tersebut hanya berlaku bagi internal kepolisian atau berlaku juga bagi media.

Menurutnya, selama ini larangan menyiarkan gambar-gambar yang brutal untuk menghindari penyebaran berita bohong di masyarakat.

Namun kalau media, dilarang untuk menyiarkan gambar-gambar kekerasan oleh aparat, bakal memunculkan polemik.

"Saya pikir kita tidak boleh mengebiri hak-hak rekan jurnalis. Oleh karena itu sekali lagi kami akan mengklarifikasi dulu kepada Pak kapolri nanti pada saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III atau kalau sempat nanti saya telepon, saya akan menanyakan kira-kira maksudnya apa," ucap Adies.

Dicabut

Setelah menuai prokontra dan mendapat sorotan sejumlah kalangan, Kapolri akhirnya mencabut surat telegram tersebut.

Pencabutan itu berdasarkan Surat Telegram bernomor ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri yang dikeluarkan pada Selasa, 6 April 2021.

"Sehubungan dengan referensi di atas, disampaikan kepada kesatuan anggota bahwa ST Kapolri sebagaimana referensi nomor empat di atas dinyatakan dicabut dan dibatalkan," sebagaimana dikutip surat telegram tersebut.

Dalam surat telegram terbaru itu disebutkan bahwa instruksi ini merupakan bersifaf petunjuk dan arah untuk dilaksanakan dan dipedomani.

Divisi Humas Polri juga menyampaikan permintaan maaf jika terjadi miskomunikasi dan membuat ketidaknyamanan bagi kalangan media massa.

Baca juga: Respon Kompolnas Setelah Kapolri Cabut Telegram Larangan Media Siarkan Aksi Kekerasan Polisi

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono sebelumnya menyatakan bahwa Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo tidak melarang media konvesional menayangkan jika ada anggota Polri yang dianggap menyalahgunakan tugasnya melakukan kekerasan.

Menurutnya, surat telegram yang dikeluarkan Kapolri itu tidak ditunjukkan kepada insan pers secara umum, melainkan diarahkan kepada personel yang bertugas di bidang kehumasan.

"STR tersebut untuk internal," kata Brigjen Rusdi Hartono saat dikonfirmasi, Selasa (6/4).

Rusdi kemudian menjelaskan alasan Kapolri menerbitkan STR itu kepada jajaran internalnya.

Dia bilang, instruksi itu bertujuan agar humas dapat berkinerja lebih baik lagi.

"STR itu untuk internal agar kinerja pengemban fungsi humas di satuan kewilayahan lebih baik, lebih humanis dan profesional," tukas dia.(tribun network/igm/mam/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini