TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyebaran ideologi radikal memanfaatkan ruang media sosial.
Selama ini, pemerintah hanya menutup akun yang terindikasi menyebarkan radikalisme.
Itu tidak cukup, Polisi seharusnya memproses hukum orang-orang di balik media sosial radikal.
"Polisi wajib memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos yang terindikasi menyebarkan paham radikal, terutama paham yang menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam kedaulatan negara," kata Pakar Hukum Pidana Petrus Selestinus, Jumat(9/4/2021).
Baca juga: Radikalisme dan Terorisme Dapat Masuk Lewat Bantuan Bencana Alam
Dia mengatakan, polisi bisa menjerat pemilik akun medsos radikal dengan Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Pemblokiran itu baik sebagai langkah preventif tetapi juga harusnya ditindaklanjuti dengan langkah pemidanaan, karena hukum positif kita sudah mengaturnya," kata Petrus.
Menurut dia, polisi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan masyarakat untuk memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos yang terindikasi menyebarkan paham radikal. Polisi cyber memiliki kemampuan dan kewenangan untuk bertindak tanpa harus menunggu pengaduan masyarakat.
Baca juga: Arsul Sani: Radikalisme Bisa Dicegah Jika Ruang Konsultasi dan Partisipasi Publik Dibuka
Jika hal itu dilakukan, Petrus menduga dampaknya bagi pencegahan penyebaran radikalisme dan terorisme akan cukup besar.
"Sekaligus mencegah meluasnya penyebaran paham radikal atau terorisme yang sangat mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan wibawa negara," tegas Petrus.
Sebelumnya, Haris Amir Falah, mantan narapidana terorisme, menyebut ada perubahan pola rekrutmen orang yang disiapkan melakukan aksi teror.
Rekrutmen calon teroris tidak lagi melalui tatap muka, melainkan via media sosial.
Melalui media sosial, kata Haris, calon pengantin bisa melakukan dialog tanpa bertemu tatap muka dengan pembinanya.
Haris menuturkan, sejumlah platform media sosial yang kerap dijadikan medium indoktrinasi serta rekrutmen teroris adalah Facebook dan Telegram.
Baca juga: Warganya Ditangkap Densus 88, Tiga Kepala Daerah Ini Beri Reaksi: Ada yang Senang Hingga Kaget
Sedangkan Menkominfo Jhonny Plate mengatakan Kementerian Kominfo mengawasi ruang siber menggunakan mesin crawling berbasis AI yang memantau akun dan konten-konten yang terkait dengan kegiatan radikalisme terorisme.
Kemenkominfo juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga serta stakeholder terkait lainnya terkait penyebaran konten radikalisme dan terorisme di medsos.
Kominfo juga berupaya menyampaikan konten positif untuk memberi literasi kepada masyarakat.
"Hingga 3 April 2021, Kementerian Kominfo telah memblokir konten radikalisme terorisme 20.453 konten yang tersebar di situs internet, serta beragam platform media sosial," ujar Jhonny.(Willy Widianto)