"Pembangunan bangsa Indonesia harus kembali kepada esensinya, kembali kepada jatidirnya dengan bersandar pada Haluan Politik Trisaksi. Hanya dengan cara inilah pembangunan tidak kehilangan ruhnya, desa tidak kehilangan karakternya. Sebab hanya dengan desa yang berkarakter saja, maka Indonesia akan kokoh dan kuat," tandas Basarah.
Di forum webinar yang sama, Direktur Advokasi Desa dan Pedesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi M. Fachri mengakui bahwa lebih dari 80 persen kegiatan yang dilakukan di desa adalah pembangunan infrastruktur.
Hal ini tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, terlebih pembangunan infrastruktur adalah kebijakan resmi Presiden Joko Widodo.
Ia juga menekankan bahwa alokasi dana desa harus dirasakan seluruh warga desa dan berdampak pada meningkatnya taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.
"Pada intinya kami terbuka dengan berbagai masukan dalam pembangunan desa, sehingga desa bisa tumbuh dan mandiri," kata Fachri.
Sementara itu, Arief Surahman menyatakan, salah satu masalah yang penting dalam pemberdayaan masyarakat desa adalah melalui BUMDes.
Namun menurut anggota Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI ini, konstruksi BUMDesa dan BUMDesa Bersama (Antar Desa) saat ini masih bersendikan kapitalistik yang berorientasi bisnis murni dan terkesan sebagai downline BUMN dan BUMD.
Padahal Desa sebagai komunitas masyarakat hukum seharusnya didorong mengembangkan kelembagaan ekonomi desa dan antar desa yang bersendikan sosial, dengan kepemilikan rakyat desa atas modal, bukan Desa secara kelembagaan.
"Untuk itu, BUMDesa seharusnya bisa menjadi BUMR yaitu Badan Usaha Milik Rakyat, untuk kesejahteraan masyarakat srbagai anggota", ujar Founder dan CEO PT. InCore yang juga aktivis Pembangunan Desa ini.
Pembicara lain, Eva Kusuma Sundari, mantan anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 menilai bahwa kebijakan penyaluran dana desa oleh negara harus disertai dengan aspek pemerataan.
Sayangnya aspek pemerataan kesejahteraan tidak berjalan optimal, salah satu indikatornya adalah adanya kesenjangan ekonomi antar penduduk di desa.
Jika kesenjangan ekonomi ini terus dibiarkan maka akan sangat berbahaya dan bisa memicu disharmoni bahkan mengarah pada disintegrasi bangsa.
"Agar hal tersebut tidak terjadi maka negara harus memperluas cakupan social protection, atau jaring pengaman sosial. Intinya keadilan sosial harus bisa dirasakan. Pastikan setiap orang hidup layak. Tidak ada lagi kemiskinan. Bentuk konkretnya adalah melalui koperasi," kata Eva.
Di lokasi yang sama aktivis desa Vinsen Bureni berpendapat bahwa pembangunan di desa jangan sampai kehilangan ruhnya. Paradigma pembangunan jangan hanya bersandar pada pembangunan fisik semata, melainkan juga harus dilandasi dengan pembangunan karakter penduduknya.
"Bangun karakter baru bangun infrastruktur. Pengambilan keputusan melalui musrembang juga harus mencerminkan semangat gotong royong dan musyawarah-mufakat," katanya menegaskan.