Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menjelaskan soal peran strategis desa.
Dimulai dari mengutip pernyataan Megawati Soekarnoputri hingga kedudukan hukum desa.
Megawati Soekarnoputri menyebut bahwa Desa adalah taman sari kearifan lokal nusantara, sumber kebudayaan dan kepribadian bangsa sementara Bung Karno menyebut desa sebagai benteng pertahanan negara. Dan kedudukan desa yang diatur Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 hingga adanya regulasi spesifik yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Baca juga: Cerita Frans Temukan Uang Rp 1.000 di Saku Jaket Pemberian Jokowi
Hal itu disampaikan Basarah webinar bertema 'Membangun Kedaulatan, Kemandirian, Kepribadian Desa Dengan Semangat Gotong Royong'.
Turut hadir dalam acara webinar ini adalah Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, Ketua Umum PA GMNI masa bakti 2015-2020 M. Fachri, Direktur Advokasi Desa dan Pedesaaan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi Eva Kusuma Sundari, Ketua Bidang Riset Teknologi dan Informasi DPP PA GMNI.
Kemudian Arief Surahman, anggota Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI / Aktivis Gerakan Membangun Desa-Yogyakarta, dan Direktur Bengkel Apek Kupang, Nusa Tenggara Timur / Alumni GMNI Kupang Vinsen Bureni.
Baca juga: Evaluasi Kinerja Menteri Jokowi, Politikus PDIP: Harusnya Reformasi Birokrasi Dibetulkan
"Desa sebagai ujung tombak dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Desa sebagai garda terdepan pelayanan publik, tempat hidup tradisi dan adat istiadat. Oleh karena itulah Pemerintahan Presiden Joko Widodo mendorong desa untuk maju dengan penyaluran dana desa," kata Basarah dalam keterangannya, Minggu (11/4/2021).
Anggota Komisi X DPR RI tersebut juga mengapresiasi kebijakan politik Presiden Joko Widodo yang komitmen secara bergulir menyalurkan alokasi dana kepada desa. Bahkan di tahun 2021, alokasi dana untuk desa mencapai Rp 796,3 Triliyun.
Namun demikian Basarah memberikan catatan khusus terhadap gegap gempitanya pembangunan di desa. Bagi Basarah pembangunan di desa lebih berorientasi pada pembangunan fisik saja, dan terkesan menegasikan pembangunan mental dan karakter bangsa.
Padahal syarat mutlak membangun bangsa adalah membangun karakter, membangun mental, membangun jiwa bangsa dan upaya tersebut dimulai dari desa.
Pentingnya membangun nation and character building disampaikan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus tahun 1966.
Bung Karno menegaskan bahwa hal pertama untuk membangun bangsa adalah membangun jiwa bangsa. Kompetensi dan keahlian memang penting.
Namun kehlian tanpa jiwa besar tidak akan mampu mencapai tujuan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945. Oleh karena itulah sekali lagi mutlak perlunya pembangunan nation and character building bangsa Indonesia.
"Untuk apa jalan desa bagus jika mental penduduknya korup. Untuk apa ada jembatan dan jalan bagus kalau penduduknya intoleran. Untuk apa ada kantor desa bagus, akan tetapi nilai gotong royong, semangat musyawarah-mufakat dan sopan santun semakin tergerus? Oleh karena itulah pembangunan jangan hanya berorientasi fisik saja, melainkan juga harus berorientasi mental-spirituil," ucap Basarah.
"Pembangunan bangsa Indonesia harus kembali kepada esensinya, kembali kepada jatidirnya dengan bersandar pada Haluan Politik Trisaksi. Hanya dengan cara inilah pembangunan tidak kehilangan ruhnya, desa tidak kehilangan karakternya. Sebab hanya dengan desa yang berkarakter saja, maka Indonesia akan kokoh dan kuat," tandas Basarah.
Di forum webinar yang sama, Direktur Advokasi Desa dan Pedesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi M. Fachri mengakui bahwa lebih dari 80 persen kegiatan yang dilakukan di desa adalah pembangunan infrastruktur.
Hal ini tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, terlebih pembangunan infrastruktur adalah kebijakan resmi Presiden Joko Widodo.
Ia juga menekankan bahwa alokasi dana desa harus dirasakan seluruh warga desa dan berdampak pada meningkatnya taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.
"Pada intinya kami terbuka dengan berbagai masukan dalam pembangunan desa, sehingga desa bisa tumbuh dan mandiri," kata Fachri.
Sementara itu, Arief Surahman menyatakan, salah satu masalah yang penting dalam pemberdayaan masyarakat desa adalah melalui BUMDes.
Namun menurut anggota Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI ini, konstruksi BUMDesa dan BUMDesa Bersama (Antar Desa) saat ini masih bersendikan kapitalistik yang berorientasi bisnis murni dan terkesan sebagai downline BUMN dan BUMD.
Padahal Desa sebagai komunitas masyarakat hukum seharusnya didorong mengembangkan kelembagaan ekonomi desa dan antar desa yang bersendikan sosial, dengan kepemilikan rakyat desa atas modal, bukan Desa secara kelembagaan.
"Untuk itu, BUMDesa seharusnya bisa menjadi BUMR yaitu Badan Usaha Milik Rakyat, untuk kesejahteraan masyarakat srbagai anggota", ujar Founder dan CEO PT. InCore yang juga aktivis Pembangunan Desa ini.
Pembicara lain, Eva Kusuma Sundari, mantan anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 menilai bahwa kebijakan penyaluran dana desa oleh negara harus disertai dengan aspek pemerataan.
Sayangnya aspek pemerataan kesejahteraan tidak berjalan optimal, salah satu indikatornya adalah adanya kesenjangan ekonomi antar penduduk di desa.
Jika kesenjangan ekonomi ini terus dibiarkan maka akan sangat berbahaya dan bisa memicu disharmoni bahkan mengarah pada disintegrasi bangsa.
"Agar hal tersebut tidak terjadi maka negara harus memperluas cakupan social protection, atau jaring pengaman sosial. Intinya keadilan sosial harus bisa dirasakan. Pastikan setiap orang hidup layak. Tidak ada lagi kemiskinan. Bentuk konkretnya adalah melalui koperasi," kata Eva.
Di lokasi yang sama aktivis desa Vinsen Bureni berpendapat bahwa pembangunan di desa jangan sampai kehilangan ruhnya. Paradigma pembangunan jangan hanya bersandar pada pembangunan fisik semata, melainkan juga harus dilandasi dengan pembangunan karakter penduduknya.
"Bangun karakter baru bangun infrastruktur. Pengambilan keputusan melalui musrembang juga harus mencerminkan semangat gotong royong dan musyawarah-mufakat," katanya menegaskan.