TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggabungan Kemenristek ke dalam Kemendikbud dikhawatirkan akan mengganggu kelancaran program vaksin Merah Putih.
Untuk itu anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto, mendesak pemerintah mengkonsolidasikan Konsorsium Riset Covid-19, yang selama ini di bawah koordinasi Menristek/BRIN.
Hal itu agar penggabungan lembaga itu tidak membuat program riset Vaksin Merah Putih terlambat.
Menurutnya, pembentukan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang tidak kunjung usai selama 17 bulan.
Kemudian ditambah dengan penggabungan Kemenristek ke dalam Kemendikbud, membawa konsekuensi hilangnya legalitas Menristek/BRIN sebagai koordinator Konsorsium Riset Covid-19.
"Jadi tidak heran jika Direktur LBM Eijkman yang menjadi motor dalam pengembangan vaksin Merah Putih kebingungan," kata Mulyanto kepada wartawan, Kamis (15/4/2021).
Mulyanto menambahkan, sebagai negara yang berdaulat, produksi dan penggunaan vaksin Merah Putih menjadi penting agar Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan menjadi sekedar pasar bisnis vaksin semata.
"Selain itu juga kita tidak ingin, uang kita yang terbatas dari utang ini terkuras habis untuk membeli vaksin impor. Karena itu sangat penting kalau kita menggesa riset dan produksi vaksin Merah Putih ini agar vaksin domestik dapat segera digunakan bagi pemulihan pandemi Covid-19," ujar Mulyanto.
Baca juga: Peleburan Kemenristek, Ketua Tim Covid-19 PKS Pertanyakan Nasib Vaksin Merah Putih
Wakil Ketua FPKS itu menyebutkan sebagaimana disampaikan Menristek/Ka. BRIN saat Raker dengan Komisi VII DPR RI target produksi vaksin adalah awal tahun 2022.
Mulyanto berharap target tersebut tidak mundur.
"Jangan sampai terlambat, yakni diproduksi pada saat pasar vaksin sudah jenuh oleh vaksin impor melalui program mandatory yang dibiayai oleh pemerintah," kata Mulyanto.
Mulyanto sangat menyayangkan bila pasar domestik yang besar ini dinikmati oleh berbagai produk impor yang menyedot devisa Negara melalui program mandatory.
Menurutnya perlu intervensi Negara untuk mendorong riset dan produksi vaksin Merah Putih sehingga bangsa ini tidak sekedar menjadi megara pengguna dan pembeli.
Mulyanto menegaskan Indonesia juga mampu menjadi negara pembuat vaksin yang berbasis keunggulan para inovator nasional. SDM dan lembaga riset kita andal.
“Jadi jangan sampai manajemen kelembagaan Negara, bukannya mempercepat, malah menghambat proses kreatif anak bangsa tersebut," ucap Mulyanto.
“Juga akan menjadi janggal, kalau vaksin impor dibeli oleh Pemerintah dengan uang negara untuk program vaksinasi mandatori. Sementara vaksin domestik karya anak bangsa, karena terlambat masuk pasar, terpaksa ikut dalam skema program vaksinasi mandiri, yang bersifat sukarela," imbuhnya.
Seperti diketahui, ada 11 platform riset vaksin Merah Putih yang dijalankan oleh 6 lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi, yakni LBM Eijkman, LIPI, UI, ITB, Unair, dan UGM.
Yang tercepat, LBM Eijkman menjadwakan uji klinis tahap 1-3 bersama BUMN Bio Farma pada bulan Juli-Desember 2021 dan target memperoleh ijin BPOM dan diproduksi massal pada bulan Januari 2022.
Sementara itu LBM Eijkman adalah lembaga riset yang ada dalam struktur organik Kemenristek dan menjadi anggota Konsorsium Riset Covid-19 yang dikoordinasikan Kemenristek.
Dengan penggabungan Kemenristek ke dalam Kemendikbud, maka status kelembagaan LBM Eijkman, seperti juga status Kelembagaan Konsorsium Riset Covid-19, menjadi tidak jelas.