TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana reshuffle Kabinet Indonesia Maju jilid 2 semakin mengemuka setelah penggabungan Kemendikbud-Ristek dan pembentukan Kementerian Investasi disepakati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna 9 April 2021.
Terkait wacana reshuffle kabinet tersebut, Direktur Eksekutif Citra Institute Yusa Farchan memberikan tiga catatan penting.
Pertama, reshuffle kabinet harus memberi efek positif sekaligus mengembalikan kepercayaan publik bagi terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang akuntabel, kredibel, dan berorientasi pada kepentingan publik.
"Reshuffle bukan hanya wacana dan urusan kelompok elite tetapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Sirkulasi dan penyegaran anggota kabinet diperlukan untuk memastikan terselenggaranya good governance berbasis kepentingan publik yang lebih luas," katanya, Senin (19/4/2021) di Jakarta.
Dalam konteks ini, menurut Yusa, dibutuhkan figur menteri yang tidak hanya kompeten, tetapi juga inovatif, berani, dan mampu menciptakan terobosan-terobosan segar dalam kebijakan pemerintahan.
Kedua, reshuffle tentu merupakan hak prerogatif Presiden. Publik hanya bisa berspekulasi sekaligus menaruh harapan besar atas bongkar pasang kabinet tersebut.
Yang baru bisa dipastikan, reshuffle akan menyasar dua pos kementerian berdasarkan perubahan nomenklatur baru. Pertama, pos Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Dikbud/Ristek). Kedua, Kementerian Investasi.
Baca juga: UPDATE Isu Reshuffle: Munculnya Nama Menantu Wapres hingga Pernyataan Sekum Muhammadiyah
"Terkait Kemdikbud-ristek, jika skenarionya adalah mengganti menteri, justru saya kira inilah momentum yang tepat untuk mengganti Nadiem Makarim. Nadiem layak direshuffle karena tidak memiliki visi yang jelas dalam menata ulang sistem pendidikan nasional sebagai dasar pembentukan karakter bangsa," katanya.
Menurutnya, Nadiem belum mampu memainkan peran penting sebagai navigator pendidikan nasional dalam menghadapi kondisi darurat covid-19 sehingga entitas dunia pendidikan tampak berjalan dengan skemanya sendiri-sendiri di era pandemi.
Kepemimpinannya di Kemdikbud juga belum mampu melahirkan inovasi penting dunia pendidikan sehingga layak dievaluasi.
Terkait Menteri Investasi, profil menteri pilihan presiden harus mampu memberikan sentimen positif atas iklim investasi baik nasional maupun global.
Dalam hal ini Yusa menambahkan, bahwa dibutuhkan investasi yang tepat dan berkualitas dalam rangka mendorong dan mempercepat recovery perekonomian nasional akibat pandemi covid.
"Soal apakah menterinya Bahlil Lahadalia, atau M Luthfi atau nama lain yang beredar seperti Rapsel Ali (menantu Wapres), tentu kita serahkan sepenuhnya kepada Presiden. Di luar dua pos kementerian tersebut, saya kira yang perlu dievaluasi adalah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko," katanya.
Yusa juga mengatakan bahwa Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko layak direshuffle karena manuver-manuver politiknya terhadap Partai Demokrat telah menabrak batas-batas standar etik dan moral pejabat publik.
Baca juga: Isu Reshuffle, PKB Beberkan Cak Imin Sudah Sempat Bertemu dengan Jokowi
Manuver politik Moeldoko, kata dia, juga telah menimbulkan kegaduhan politik yang menguras energi serta menyeret nama baik istana presiden.
Tentu ini adalah preseden buruk bagi profil pejabat publik yang seharusnya tidak menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Ketiga, respon publik terhadap wacana reshuffle kabinet harus dimaknai sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan karena sumber kekuasaan Presiden sesungguhnya adalah di tangan rakyat.
"Artinya, meskipun reshuffle adalah hak prerogatif presiden, namun presiden juga harus mendengar aspirasi dan masukan publik demi terciptanya Indonesia yang lebih baik," ujarnya.