TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo selaku terdakwa, kembali menjalani sidang lanjutan kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/4/2021).
Di persidangan, Edhy Prabowo disebut tak puas dengan kuota sebesar 139 juta yang mulanya ditetapkan bagi para perusahaan calon pengekspor benur.
Hal ini diungkap oleh Mantan Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar selaku saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Awalnya jaksa bertanya ke saksi terkait kuota bagi perusahaan yang menerima jatah budidaya dan ekspor benur.
"Berdasarkan surat dari Kepala badan riset dan sumber daya manusia tanggal 8 April itu diarahkan kepada menteri itu menggambarkan bahwa yang bisa dikelola bukan bisa diekspor, yang bisa dikelola 139 juta," kata Zulficar dalam persidangan.
Baca juga: Tak Tertutup Kemungkinan KPK Jerat Korporasi di Kasus Edhy Prabowo
Adapun penetapan kuota 139 juta bersumber dari rekomendasi Komite Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan) dan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM).
Komnas Kajiskan sendiri berisi individu yang punya kecakapan di bidang stok manajemen sumber daya perikanan.
"Ini yang merekomendasikan kepada BRSDM. BRSDM baru bisa mengeluarkan rekomendasi ini," kata Zulficar.
Namun Edhy Prabowo disebut tak puas dengan jumlah kuota yang ditetapkan.
Pihak lainnya yang juga merasa tidak puas yakni penasihat dan staf khusus menteri.
Ketidakpuasan Edhy Prabowo dan tim bentukannya disampaikan dalam rapat koordinasi di Widya Chandra.
"Setahu saya banyak pihak yang tidak puas jadi pak menteri, sebagian penasihat kemudian sebagian tim yang dibentuk. Jadi pak menteri itu ada tim penasihat, ada juga tim pemangku kepentingan, ada staf ahli, ada staf khusus itu sebagian tidak merasa puas dengan angka ini karena mereka sering merujuk ke nilai miliaran-miliaran yang seharusnya ada tersebut," kata dia.
Dalam rapat itu, Edhy Prabowo disebut kecewa lantaran penetapan kuota yang cuma 139 juta berbanding proyeksi miliaran.
Sehingga ia menilai ada ketidakseriusan dalam proses tersebut.
"Jadi saya menangkap ada ketidakpuasan dan beberapa penasihat menggambarkan hal yang sama artinya sebenarnya mereka berharap benih lobster ini bisa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan tapi kalau hanya 100 juta, 139 juta tidak seperti yang diharapkan karena kondisinya katanya sangat banyak," kata Zulficar.
Kemudian beberapa bulan berikutnya, terjadi penambahan kuota tiga kali lipat dari jumlah penetapan awal 139 juta ke 418 juta.
Zulficar sendiri mengaku tak mengetahui proses penambahan kuota tersebut, lantaran tak lagi menjabat posisi Dirjen Perikanan Tangkap KKP.
"Saya belakangan baru dapat informasi dari media bahwa bulan September itu ada perubahan kuota baru di mana jumlah yang dibolehkan itu menjadi 418 juta, ini keputusan menteri yang ditandatangani oleh pak Sekjen kalau tidak salah, menggambarkan sekarang 418 juta. Tapi saya tidak ikut lagi diprosesnya hanya tahu di situ," pungkas Zulficar.
Dalam perkara ini, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo didakwa menerima suap Rp25,7 miliar dengan rincian 77 ribu dolar AS atau setara Rp 1,12 miliar dan Rp 24.625.587.250 (Rp 24,6 miliar) dari beberapa perusahaan.
Suap itu ditujukan guna mengurus izin budidaya lobster dan ekspor benur.
Uang sebesar 77 ribu dolar AS diterima Edhy Prabowo dari Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Sedangkan Rp 24,6 miliar juga diterima dari Suharjito dan sejumlah eksportir benih bening lobster (BBL) lain.