TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dinilai mesti proporsional, terukur, menjunjung tinggi keselamatan masyarakat, dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam merespon penembakan terhadap Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Mayjen TNI (Anumerta) I Gusti Putu Danny beberapa waktu lalu.
Pemerintah juga dinilai perlu mesti mengambil langkah serupa dalam merespon serangan balasan tim gabungan institusi TNI-Polri di wilayah Kabupaten Puncak Papua yang berlangsung sejak akhir April 2021 sampai dengan saat ini.
Hal tersebut disampaikan Koordinator Klaster Riset Konflik, Pertahanan, dan Keamanan di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Muhammad Haripin ketika membacakan poin pertama pernyataan pers pihaknya berjudul "Menanti Perdamaian di Papua: Urgensi Penghentian Kekerasan" untuk menyikapi perkembangan situasi keamanan di Papua belakangan ini.
"Kami berpandangan bahwa pemerintah Joko Widodo mesti mengambil sikap yang proporsional, terukur, dan menjunjung tinggi keselamatan masyarakat serta hak asasi manusia, dalam upaya pengusutan atas peristiwa tersebut," kata Haripin secara virtual pada Kamis (6/5/2021).
Pengerahan dan penggunaan kekuatan (use of force) oleh pemerintah dalam menghadapi suatu kelompok masyarakat yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan mengancam kedaulatan negara, kata Haripin, harus tetap terikat dan dibatasi oleh peraturan hukum nasional maupun internasional.
Negara, kata dia, memiliki tanggung jawab dalam menjamin keamanan masyarakat Papua secara menyeluruh.
Baca juga: Lokasi Penembakan Kepala BIN Papua di Kampung Dambet, 3 Kilometer dari Polsek dan Koramil
"Dan mencegah penggunaan instrumen kekerasan secara eksesif yang menimbulkan korban sipil, mengakibatkan trauma berkepanjangan, dan menghalangi atau merusak atau menghancurkan akses serta fasilitas kebutuhan dasar hidup masyarakat," kata Haripin.
Klaster Riset Konflik, Pertahanan, dan Keamanan terdiri atas peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI yang setiap hari bergelut dengan isu-isu pertahanan dan keamanan.
Mereka di antaranya terdiri dari berbagai macam latar belakang di antaranya studi ilmu politik, ilmu hubungan internasional, studi resolusi konflik, dan sebagainya.
"Kami sebagai kelompok kecil sebetulnya di P2P LIPI merasa ada kebutuhan untuk menyatakan sikap kami sebagai peneliti, sebagai bagian dari komunitas epistemik terkait perkembangan di Papua," kata Haripin.