Posisi ini yang membuat penduduk desa yang melakukan urbanisasi ke kota, memandang bahwa kota itu bukan tempatnya, walaupun kota tempatnya mengais rezeki.
“Di kota memang ada banyak rezeki, ada banyak uang, namun kota menurut mereka adalah sumber masalah dan sumber kecacatan moral. Sementara desa merupakan tempat tinggal, rumah, tempat orang tuanya adalah tempat yang baik, tempat yang luhur. Selalu ada tarikan ambivalen seperti itu dalam setiap orang yang mengalami migrasi,” katanya.
Dalam situasi seperti itu selalu ada tarikan yang bersifat psikologis dan budaya untuk masyarakat ingin kembali ke desa atau kampungnya disaat tertentu.
Karena menurutnya yang namanya ‘pulang’ tidak memiliki konotasi negatif di masyarakat.
“Mudik konotasinya adalah pulang. Orang yang pulang itu tidak punya konotasi negatif. Jadi konstruksi kebudayaan ini yang membalut dimensi struktural itu. Basisnya adalah gap ekonomi antara desa dan kota, tapi karena sudah menjadi struktur, kemudian menghasilkan suatu praktik budaya,” ujarnya.
Hal itu yang menjadikan mudik bukan lagi semata-mata suatu proses fisik perpindahan orang, tapi sekaligus tindakan etik dan kultural yang menjadi sulit untuk dihentikan.
Sehingga banyak masyarakat yang tetap berusaha dan bersusah payah untuk mudik ke kampung halaman, meski ada pandemi atau dilakukan pengetatan oleh pemerintah.
“Ini yang membuat orang bersusah payah. Bakal untuk mengakalinya dia naik sepeda dari Jakarta ke Jogja, dengan aneka macam cara,” ujarnya.
Namun dengan adanya pandemi, mudik mengalami benturan logika medik.
Sehingga ini menyebabkan konflik atau pertarungan antara rasionalitas pandemi dengan kebudayaan.
“Jadi tidak bisa kita katakan mana yang salah atau benar, mana kalah mana menang karena yang dihalangi cukup besar,” ujarnya.
--