"Saya waktu itu tanya, apakah jihad ini benar. Dijawab Muklas benar berdasarkan ini dan itu. Sudah saya ingatkan ketika perencanaan, saya sudah tidak sepakat," ujar Ali Imron.
"Ini membalas Amerika terkait kasus WTC, kenapa balas dendam di Bali?" sambung Ali.
Baca juga: Jelang Lebaran, Polri Turunkan Densus 88 Antisipasi Ancaman Aksi Terorisme
Hingga akhirnya, ledakan demi ledakan mengguncang kawasan Kuta, Bali, pada Oktober 2002 silam.
Aksi pengeboman beruntun di Paddy's Cafe, Sari Club, dan Kantor Konsulat Amerika Serikat di Denpasar, Bali itu dipercaya kelompoknya sebagai jihad.
Namun, beberapa saat setelah ledakan terjadi, Ali, Mukhlas, dan Imam Samudera justru mendatangi sebuah masjid di Bali.
Mereka bertiga langsung merenungkan aksi Bom Bali I tersebut.
"Ketika bom itu sudah meledak besar, boro-boro takbir-takbir, senyum saja nggak bisa saya sama Idris itu, makan nggak bisa," ujar Ali Imron.
"Yang saya rasakan pada waktu itu keraguan terhadap jihad itu apa, karena saya berkali-kali ke Ambon ndak ada keraguan seperti itu, enak saja. Tapi begitu (mengebom) di Bali itu (ada) keraguan," lanjutnya.
Keraguan-keraguan tersebut semakin menguat karena situasi sekitar, di mana orang-orang sibuk menyelamatkan diri.
Dari sana, Ali Imron semakin yakin bahwa perbuatannya tidak benar karena tak ada sedikit pun kegembiraan di hatinya.
"Perenungan ini terus terjadi, jadi tambah dasar bahwa ini harus saya kampanyekan, bahwa (jihad) ini salah," kata Ali.