Laporan wartawan tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Narapidana terorisme (Napiter) kasus Bom Bali I, Ali Imron (42) melakukan deradikalisasi terhadap 80 narapidana terorisme lain yang kini mendekam di Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta.
Kepada puluhan Napiter, Ali Imron menceritakan penggalan perjalanannya saat melancarkan aksi Bom Bali I yang dilakukannya bersama Mukhlas, Imam Samudera, dan Amrozi.
Menurut Ali Imron, kisah Bom Bali I perlu diceritakan karena bisa dijadikan sebagai contoh jihad yang salah.
"Cerita ini untuk menyadarkan mereka bahwa kesalahan-kesalahan kita dalam berjihad, bertentangan dengan jihad yang benar itu jangan terulang lagi," ujar Ali Imron saat berbincang dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Selasa (11/5/2021).
Baca juga: Ali Imron, Pelaku Bom Bali I Kini Aktif Kampanyekan Deradikalisasi Pada Narapidana Terorisme
Dalam kasus Bom Bali I, Ali Imron bertindak sebagai koordinator lapangan dan perakit bom.
Kepada para Napiter itu, Ali Imron selalu mengawali ceritanya dengan mengungkapkan bahwa ia adalah orang pertama yang ditangkap karena melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia.
"Sebetulnya saya ini bisa dikatakan yang pertama ditangkap sebagai Napiter kasus bom Bali, itu saya ceritakan dulu," kata Ali.
Selanjutnya Ali menceritakan bagaimana kelompoknya melakukan aksi pengboman di Bali pada 2002 silam.
Baca juga: Kronologi 4 Warga Tewas Diduga Dibantai Kelompok Teroris Ali Kalora di Poso Sulawesi Tengah
Awalnya pada Agustus 2002, Ali Imron diajak Amrozi untuk menindaklanjuti ajakan Imam Samudera melakukan aksi teror.
Saat itu mereka bertiga bertemu di Solo, Jawa Tengah.
"Waktu itu Imam Samudera mengajak balas dendam pada orang Amerika dengan ngebom orang-orang bule di Bali," ujar Ali Imron.
Singkat cerita, kelompok Ali Imron sudah membicarakan pembagian tugas pengeboman di Bali.
Beberapa saat sebelum melancarkan aksi Bom Bali, Ali sempat selisih pendapat dengan Mukhlas dan Imam Samudera.
"Saya waktu itu tanya, apakah jihad ini benar. Dijawab Muklas benar berdasarkan ini dan itu. Sudah saya ingatkan ketika perencanaan, saya sudah tidak sepakat," ujar Ali Imron.
"Ini membalas Amerika terkait kasus WTC, kenapa balas dendam di Bali?" sambung Ali.
Baca juga: Jelang Lebaran, Polri Turunkan Densus 88 Antisipasi Ancaman Aksi Terorisme
Hingga akhirnya, ledakan demi ledakan mengguncang kawasan Kuta, Bali, pada Oktober 2002 silam.
Aksi pengeboman beruntun di Paddy's Cafe, Sari Club, dan Kantor Konsulat Amerika Serikat di Denpasar, Bali itu dipercaya kelompoknya sebagai jihad.
Namun, beberapa saat setelah ledakan terjadi, Ali, Mukhlas, dan Imam Samudera justru mendatangi sebuah masjid di Bali.
Mereka bertiga langsung merenungkan aksi Bom Bali I tersebut.
"Ketika bom itu sudah meledak besar, boro-boro takbir-takbir, senyum saja nggak bisa saya sama Idris itu, makan nggak bisa," ujar Ali Imron.
"Yang saya rasakan pada waktu itu keraguan terhadap jihad itu apa, karena saya berkali-kali ke Ambon ndak ada keraguan seperti itu, enak saja. Tapi begitu (mengebom) di Bali itu (ada) keraguan," lanjutnya.
Keraguan-keraguan tersebut semakin menguat karena situasi sekitar, di mana orang-orang sibuk menyelamatkan diri.
Dari sana, Ali Imron semakin yakin bahwa perbuatannya tidak benar karena tak ada sedikit pun kegembiraan di hatinya.
"Perenungan ini terus terjadi, jadi tambah dasar bahwa ini harus saya kampanyekan, bahwa (jihad) ini salah," kata Ali.