Putusan MK juga menyatakan bahwa revisi UU KPK tidak boleh merugikan pihak pegawai KPK. Menpan RB juga sudah menyatakan bahwa tes ini dilaksanakan semata berdasarkan aturan internal KPK.
Jadi, aturan internal semestinya tidak boleh menghilangkan hak staf di dalamnya.
2. Selain berpotensi mengabaikan UU dan Putusan MK 70/PUU-XVII/2019, penonaktifan itu juga seperti mengabaikan berbagai kritik masyarakat dan ormas keagamaan yang menolak model tes tersebut diberlakukan.
Berbagai protes telah dilayangkan. Dan hampir seluruh protes dimaksud tidak pernah dijawab oleh KPK bahkan berujung pada saling lempar alasan.
Maka berdasarkan hasil tes yang semestinya tidak mengikat siapapun itu tetap dijadikan dasar oleh KPK untuk menonaktifkan 75 staf mereka yang sudah dikenal integritas dan dedikasinya bagi upaya pemberantasan korupsi.
3. Maka tes yang didasarkan pada kebijakan internal itu, sejatinya hanya boleh sampai pada derajat evaluasi dan pembinaan. Bukan dinonaktifkan.
4. Mendorong 75 staf yang dinonaktifkan agar terus menuntut hak mereka dikembalikan sebagaimana dinyatakan oleh UU dan putusan MK.
Sekalipun, nuansa pesimisnya jauh lebih kuat, tapi upaya harus terus dijalankan sampai batas akhir yang dimungkinkan oleh sistem.
5. Mendorong para aktivis 98 untuk bersama-sama menguatkan kembali gerakan anti korupsi dan tujuan reformasi.
KPK adalah simbol terakhir hasil gerakan reformasi '98 yang belum sepenuhnya dapat ditaklukan. Selain itu, di banyak tuntutan reformasi telah terjadi degradasi yang begitu kuat.
Kebebasan berpendapat, berserikat, perlindungan HAM merosot, profesionalisme TNI dan Polri yang sekarang mulai lagi kabur, tak berbilang semangat anti napotisme dan oligarki yang hampir hapus oleh siklus pemilu/pilkada lima tahunan. Nepotisme dan oligarki marak di dalam politik.
Tentu, terasa memilukan di saat kita tengah merayakan 23 tahun reformasi justru kita menemui berbagai hasil reformasi yang tengah dihancurkan.