"Izin Pak, terus terang saya belum sampai di sana karena saya masih berfokus membantu Pak Menteri memilah dokumen-dokumen," jawab Putri.
Lebih lanjut, jaksa kembali bertanya soal perbedaan tugas yang dilakukan Putri Tjatur dengan kesekretariatan jenderal.
Putri Tjatur pun menjelaskan, bahwa perbedaanya hanya melaksanakan tugas-tugas tersebut berdasarkan perintah Edhy Prabowo.
"Karena saat itu posisi sekretaris pribadi masih kosong. Artinya yang betul-betul aktif di administrasi itu belum ada. Sementara, sebelumnya saya memang handle administrasi Pak Edhy saat beliau pertama kali (kerja,red) bersama saya di 2004 sampai 2019," jawab Putri Tjatur lagi.
Sebelumnya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo didakwa menerima suap Rp25,7 miliar dengan rincian 77 ribu dolar AS atau setara Rp1,12 miliar dan Rp24.625.587.250 (Rp24,6 miliar) dari beberapa perusahaan.
Suap itu ditujukan guna mengurus izin budidaya lobster dan ekspor benur.
Uang sebesar 77 ribu dolar AS diterima Edhy Prabowo dari Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Sedangkan Rp24,6 miliar juga diterima dari Suharjito dan sejumlah eksportir benih bening lobster (BBL) lain.
Atas perbuatannya, Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.