TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum eks Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino alias RJ Lino selaku pemohon meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengabulkan seluruh gugatan praperadilan.
Gugatan itu berkaitan dengan penyidikan kasus yang dilakukan KPK atas dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) pada PT Pelindo II yang menjeratnya sebagai tersangka.
"Menerima permohonan praperadilan ini untuk seluruhnya," ucap pengacara RJ Lino, Agus Dwiwarsono, dalam persidangan di PN Jaksel, Selasa (18/5/2021).
Dalam gugatannya, tim pengacara RJ Lino meminta majelis hakim untuk menyatakan proses penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah.
Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) itu diterbitkan sejak dimulainya proses penyidikan, sesuai Sprindik KPK tanggal 15 Desember 2015, yang dihitung sampai saat ini berarti sudah melebihi jangka waktu selama dua tahun.
Fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa KPK telah tidak melaksanakan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) jo Pasal 70C UU KPK, karena syarat waktu penghitungan dua tahun merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan (SPDP), penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan telah terlewati dan KPK tidak menerbitkan SP3 terhadap RJ Lino.
Oleh Karena itu, demi kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia, maka kata Agus, cukup alasan hukumnya bagi hakim praperadilan untuk memeriksa dan mangabulkan permohonan prapengadilan dari RJ Lino terkait Pasal 40 ayat (1) Jo Pasal 70C UU Nomor 19 Tahun 2019.
Agus melanjutkan bahwa terkait Pasal 40 ayat (1) ini, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.70/PUU-XVII/2019 tanggal 4 Mei 2021, menegaskan apabila telah melewati jangka waktu dua tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3 maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.
Baca juga: KPK Pede Hadapi Praperadilan RJ Lino, Ini Alasannya
"Putusan MK tersebut memberi dasar hukum bagi hakim praperadilan untuk memeriksa dan memutus permohonan praperadilan RJ Lino. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin-Dik-55/01/12/2015 tertanggal 15 Desember 2015 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/66A/DIK.00/01/04/2018 tertanggal 17 April 2018 tidak sah," katanya.
"Sejak dimulainya proses penyidikan, yang dihitung sampai dengan dilakukan penahanan terhadap pemohon pada tanggal 26 Maret 2021, adalah 5 tahun 1 bulan dan 10 hari," tambah Agus.
Selain itu, majelis hakim juga diminta untuk menyatakan KPK tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap pihak pemohon.
Alasannya, hal ini telah melanggar norma Pasal 11 ayat (1) huruf b, dan ayat (2) Juncto Pasal 70 C Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Sesuai pasal tersebut KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan karena dalam aturan itu hanya menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar," kata dia.
Adapun dalam perkara ini, KPK menduga RJ Lino melawan hukum dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirut PT Pelindo II untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan atau korporasi dengan memerintahkan penunjukan langsung perusahaan asal Tiongkok, Wuxi Huangdong Heavy Machinery (HDHM) sebagai pelaksana proyek pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II.
"Tapi kerugian (dalam perkara RJ Lino) keuangan negara berdasarkan audit BPK sebesar 22.828 dolar Amerika Serikat atau setara Rp329.518.755, yang mana ini merupakan biaya pemeliharaan pemakaian dari QCC tersebut," kata Agus.
Kemudian, dalam gugatan itu juga majelis hakim diminta untuk menyatakan surat penahanan Nomor Sprin.Han/13/DIK.01.03/01/03/2021 dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor 14/TUT.00.03/24/04/2021 tertanggal 13 April 2021 tidak sah dan tidak berdasar hukum.
"Memerintahkan termohon untuk mengeluarkan pemohon dari Rumah Tahanan Negara Kelas I Cabang KPK RI," ujar Agus.