TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perjanjian Batu Tulis yang disepakati Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sudah selesai pada Pemilu 2009.
Hal itu ditegaskan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dalam diskusi daring PARA Syndicate, Jumat (28/5/2021).
Kendati demikian, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menilai, peluang PDIP dan Gerindra untuk berkoalisi pada pilpres 2024 masih sangat terbuka.
Kemungkinan itu juga datang dari Hasto yang menyatakan PDIP nyaman berkoalisi dengan Gerindra, PKB, PAN, dan PPP.
"Karena itu, peluang memasangkan Prabowo-Puan atau kader lain dari dua partai tersebut tampaknya masih terbuka," kata Jamil kepada wartawan, Sabtu (29/5/2021).
Menurut Jamil, koalisi kedua partai tinggal menentukan siapa yang akan jadi capres dan cawapres.
Dari logika politik, Jamil mengatakan seharusnya capresnya PDIP dan cawapresnya dari Gerindra.
Logika itu didasari dari perolehan suara pada pileg 2019, di mana PDIP memperoleh suara paling banyak.
"Selain itu, Hasto juga sudah memberi sinyap bahwa PDIP akan mengusung capres, bukan cawapres. Sinyal ini jelas, peluang calon PDIP menjadi cawapres menjadi kecil," ucapnya.
Di lain pihak, Prabowo dengan elektabilitas yang tinggi tentu sulit baginya untuk diusung sebagai cawapres.
Apalagi kalau dipasangkan dengan capresnya Puan Maharani yang elektabilitasnya saat ini sangat rendah.
Baca juga: PDIP Berharap Pilpres 2024 Hanya Diikuti 2 Pasangan Calon dan Berlangsung 1 Ronde
Menurutnya, kalau Prabowo yang diusung Gerindra sebagai capres dan PDIP juga menghendaki posisi yang sama, maka sulit bagi kedua partai untuk berkoalisi. Kedua partai akan berpisah dan mencari partai lain untuk berkoalisi.
"Hanya saja masih ada sebersit harapan duet Prabowo-Puan maju pada pilpres 2024 mengingat ada kedekatan hubungan Mega dengan Prabowo. Sejak Prabowo masuk Kabinet Jokowi, hubungan Mega-Prabowo memang semakin hangat," ujarnya.
Selain itu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga tampaknya berkeinginan agar trah Soekarno mengisi posisi kepemimpinan nasional pada tahun 2024.
Sebab, kalau pada tahun 2024 tidak menjadi presiden atau wakil presiden, maka trah Soekarno akan kehilangan momentum.
"Bila itu terjadi, maka tidak menutup kemungkinan trah Soekarno juga akan meredup setelah Megawati Ketua Umum. Hal itu tentu tidak diinginkan Mega," pungkasnya.