TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan suap yang diterima oleh penyidik KPK dari Polri AKP Stepanus Robin Pattuju terus bergulir.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan AKP Robin dipecat tidak hormat dari KPK karena dugaan menerima suap dari Wali Kota Tanjungbalai.
Namun, selain dari Wali Kota Tanjungbalai, diduga ada suap lain yang diterima AKP Robin.
Satu di antaranya diduga dari Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin.
Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho dalam sidang vonis etik Robin pada Senin (31/5) lalu.
Dalam pertimbangannya, Albertina mengatakan uang itu diberikan terkait dengan perkara rasuah yang ditangani KPK di Lampung Tengah.
Uang yang diberikan Azis kepada AKP Robin mencapai Rp 3,15 miliar.
”Dalam perkara Lampung Tengah yang terkait dengan saudara Aliza Gunado, Terperiksa (AKP Robin) menerima uang dari Azis Syamsuddin sejumlah 3 miliar 150 juta rupiah,” kata Albertina, Rabu (2/6).
Baca juga: Respon Menkes Sikapi Korupsi Masker dan Hasil Pemeriksaan 20 ASN Dinkes Banten yang Berniat Mundur
Albertina mengatakan, pemberian uang tersebut juga melibatkan seorang pengacara bernama Maskur Husain.
Diketahui di kasus suap Wali Kota Tanjungbalai, baik Robin dan Maskur juga sudah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap miliaran rupiah.
Albertina menyebut, dari total uang yang diberikan oleh Azis di kasus Lampung Tengah, sebagian di antaranya diberikan kepada Maskur.
”Sebagian diserahkan kepada saksi Maskur Husain kurang lebih sejumlah 2 miliar 550 juta rupiah, dan Terperiksa mendapat uang lebih sejumlah 600 juta rupiah," kata Albertina.
Dalam kasus etik tersebut sejumlah saksi telah diperiksa oleh Dewas KPK.
Termasuk Azis Syamsuddin yang diperiksa sebanyak dua kali.
Albertina mengatakan, dalam pemeriksaan itu Azis membantah adanya pemberian uang.
"Meskipun dibantah oleh saksi Azis Syamsuddin yang menyatakan tidak pernah memberikan sejumlah uang kepada terperiksa," ucapnya.
Nama-nama yang disinggung Albertina Ho bukanlah nama asing.
Seperti Aliza Gunado merupakan satu di antara yang dicegah oleh KPK terkait dengan kasus dugaan suap Robin di perkara Tanjungbalai yang menyeret walkot nonaktif M Syahrial sebagai tersangka.
Baca juga: Kasus Suap Penanganan Perkara Tanjungbalai, KPK Pastikan Kembali Panggil Azis Syamsuddin
Nama Azis sebelumnya pernah muncul dalam kasus dana alokasi khusus (DAK) Kabupaten Lampung Tengah 2017.
Kasus tersebut menjerat eks Bupati Lampung Tengah, Mustafa.
Nama Azis di kasus DAK ini muncul saat Perhimpunan Advokasi Pro-Demokrasi melaporkannya ke MKD DPR RI atas dugaan pelanggaran etik permintaan fee DAK.
Disebutkan bahwa dalam persidangan, Mustafa menyebut ada permintaan fee dari Azis sebesar 8 persen dari DAK Lampung Tengah.
Dasar inilah yang jadi laporan perhimpunan tersebut ke MKD.
"Kami meminta pimpinan MKD memeriksa dan memanggil Mustafa atas pengakuannya. Karena saudara Mustafa memiliki bukti dan data-data terkait permintaan DAK fee 8%. Harapan kita supaya proses ini berlanjut," kata perwakilan PAPD, Agus Rihat Manalu, awal Januari 2020 lalu.
Tak hanya ke MKD, Azis juga dilaporkan ke KPK oleh LSM Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) terkait kasus yang sama. Fee 8 persen yang Azis minta saat menjabat sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.
Bantahan Azis
Azis pernah disebut menerima fee di kasus Lampung Tengah.
Namun, ia membantah telah meminta fee terkait dana alokasi khusus (DAK) Kabupaten Lampung Tengah, yang menjerat Mustafa.
"Tidak benar (meminta fee)," kata Aziz kepada wartawan, Senin (13/1/2020).
Azis pun kemudian dilaporkan ke MKD dan juga KPK terkait dugaan penerimaan fee itu.
Kini, dugaan ini tengah diusut oleh lembaga antirasuah.
Baca juga: Polemik Seleksi Kepegawaian KPK, Istana Sebut Itu Urusan Internal
Perihal apa yang terungkap di sidang Dewas KPK itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan KPK akan mengusut informasi tersebut.
Sebab, saat ini KPK juga tengah melakukan penyidikan terkait dugaan penerimaan suap oleh Robin dari sejumlah pihak perihal penanganan perkara di KPK.
"Terkait jumlah uang yang diduga diterima tersangka SRP (Stepanus Robin Pattuju) akan dikembangkan lebih lanjut pada proses penyidikan perkaranya yang saat ini masih terus dilakukan," kata plt juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (2/6).
Pengusutan etik terhadap Robin telah selesai dilakukan.
Penyidik asal Polri itu dijatuhi etik berat dan diberhentikan. Ia segera dikembalikan ke institusi asalnya.
Sementara, perkara pidananya masih akan diusut KPK.
Kini pengembangannya pun akan dilakukan.
Termasuk dugaan suap yang diterima Robin.
Satu di antaranya diduga dari Azis Syamsuddin.
"Saat ini penyidik masih mengumpulkan bukti-bukti dan mengembangkan lebih lanjut informasi dan fakta yang telah diperoleh dari hasil penyidikan termasuk tentu juga informasi dan data dari hasil pemeriksaan majelis etik," ucap Ali.
Ali juga mengatakan bila Azis segera dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dalam proses penyidikan.
"Pemanggilan terhadap saksi Azis Syamsuddin juga akan segera dilakukan. Mengenai waktunya kami pastikan akan kami informasikan," tambahnya.
Di sisi lain kabar mengenai AKP Robin yang justru menerima rente di dalam internal KPK ini memunculkan kritik.
Salah satunya dari Feri Amsari. Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas yang juga aktivis antikorupsi itu menilai kasus AKP Robin ini terjadi sejak revisi UU KPK.
"Semenjak KPK diubah sistemnya melalui UU 19/2019 banyak SOP yang membuka ruang terjadinya potensi korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang. Apa yang terjadi di kasus Robin di Medan menurut saya bukti bahwa sistem yang baru begitu mudah disusupi kepentingan, terutama bagi para pihak yang kerja KPK merasa miskin pengawasan dan tidak sekuat dulu sistemnya, sehingga mereka bisa berpikir untuk menyalahgunakan kewenangannya," kata Feri, Rabu (2/6).
Feri menilai sistem baru ini bisa memaksa pegawai KPK untuk berbuat jahat.
Dia menyebut KPK dengan UU yang baru berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang.
"Bukan tidak mungkin apa yang terjadi ini bagian dari wajah baru KPK di era kepemimpinan baru dan UU baru yang membuat akhirnya banyak kasus-kasus yang mengganggu ruang etik penyelenggara terutama para penegak hukum ya," ujarnya.
Feri mengatakan penyalahgunaan wewenang di tubuh KPK bisa menghambat penyelesaian kasus.
Jika menilai pada kasus AKP Robin, Feri menilai ada potensi makelar kasus lain yang bisa terungkap.
"Kalau kita lihat dalam kasus ini, misalnya, keterlibatan pimpinan yang mengaitkan ini dengan relasi personalnya dengan berbagai pihak misalnya dengan pengacara dan lainnya. Aku melihat ini ada indikasi ke depan kewenangan KPK malah disalahgunakan, tidak hanya oleh pegawainya tapi juga pimpinannya. Sampai sejauh ini kan tidak ada upaya untuk memberikan sanksi pimpinan yang terlibat dalam kasus ini," ucap Feri.
Baca juga: Alih Status Pegawai Jadi ASN Justru Menguatkan KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga terkejut dengan adanya makelar perkara di KPK.
Boyamin menyebut kasus Robin membuka mata publik bahwa KPK tidak lagi steril.
"Tapi apapun kasus Robin membuka mata kita semua bahwa ternyata di KPK sekarang tidak steril. Justru itu saya melawan proses penonaktifan 75 orang itu supaya menjaga dalam artian yang baik tetap baik. Kalau ditendang saya khawatir tinggal orang yang tidak militan sehingga banyak yang dipengaruhi orang lain sehingga dikhawatirkan banyak perkara yang ditutup atau dipetieskan apalagi sekarang ada instrumen SP3 berwenang penghentian penyidikan," kata Boyamin.
Terkait dugaan pemberian uang dari Azis Syamsuddin, Boyamin berharap KPK segera menindaklanjutinya dengan segera memanggil Azis.
Dia menilai ini menjadi momen bersih-bersih KPK apabila ditemukan lagi adanya makelar perkara.
"Kalau memang ada makelar perkara maka semakin terungkap, sekalian bersih-bersih atau bahasa nggak enaknya kalau memang sudah sulit lagi sementara 75 (pegawai yang tak lolos TWK) nggak ada dan yang di dalam bisa jadi khawatir ada beberapa yang terkait itu juga, ya sudah dibubarkan saja KPK," ucapnya.(tribun network/ham/dod)