Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai alasan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menolak mencabut SK penonaktifan 75 pegawai KPK manipulatif.
Menurut Usman, alasan penolakan tersebut dengan dalih good governance juga ironis.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi pernyataan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, yang menggunakan prinsip good governance sebagai alasan untuk tidak mencabut surat keputusan yang memuat penyerahan tugas dan tanggung jawab bagi yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
“Sangat ironis pimpinan KPK menolak membatalkan surat keputusan penonaktifan 75 pegawai KPK dengan alasan good governance. Itu manipulatif. Keputusan pimpinan KPK itu cermin tata kelola kelembagaan yang buruk, bad governance," kata Usman dalam keterangan resmi Amnesty International Indonesia pada Kamis (3/6/2021).
Baca juga: Pesan Fahri Hamzah kepada KPK: Berantas Korupsi Pakai Otak, Jangan Pakai Otot
Good governance, kata dia, seharusnya mengikuti prinsip transparansi, kesetaraan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di antaranya hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan keyakinan.
Baca juga: Pimpinan KPK Tolak Pencabutan SK Penonaktifan Pegawai yang Tak Lolos TWK, Ini Alasannya
"Apa yang transparan dari proses TWK? Hak asasi apa yang dipenuhi? Semua prinsip good governance justru ditabrak," kata Usman.
Selain itu, kata dia, pimpinan KPK harus belajar tentang prinsip duty of care. Setiap pimpinan, kata Usman, wajib menghormati dan melindungi hak-hak anggotanya, termasuk memperlakukan bawahannya secara setara.
Baca juga: Komnas HAM Rampung Periksa 19 Pegawai KPK Terkait Tes Wawasan Kebangsaan
Duty of care, menurut Usman, mewajibkan pimpinan KPK bersikap hati-hati. Selain itu, kata dia, good governance juga seharusnya memastikan bahwa karyawan dinilai karena kinerja dan kompetensi, bukan kemurnian ideologisnya.
Menurut Usman good governance juga seharusnya berorientasi pada pemenuhan kepentingan rakyat.
"Bacalah laporan Indonesia Corruption Watch, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 56,7 triliun pada 2020, empat kali lipat dari kerugian negara pada 2019. Itu lebih besar dari anggaran BPJS Kesehatan (Rp 48,8 triliun), anggaran bantuan sosial tunai untuk pekerja berpenghasilan rendah (Rp 37,9 triliun), dan bantuan sembako (Rp 47,2 triliun)," kata dia.
Dengan berlarutnya pandemi dan meluasnya program bantuan sosial, kata Usman, potensi penggelapan dan penyelewengan dana pemerintah juga meningkat.
"Dalam situasi ini good governance seharusnya diterapkan dengan memastikan KPK tetap diperkuat oleh pegawai-pegawai terbaiknya yang dapat mengawasi dan mencegah penyalahgunaan uang negara yang ditujukan untuk memenuhi hak masyarakat Indonesia atas penghidupan yang layak," kata Usman.
Latar belakang