TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Draf Rancangan Undang-Undang KUHP telah dibuka kepada publik.
Dalam draf itu, diatur pula pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyebut, pasal yang menyerang harkat dan martabat presiden/wakil presiden tersebut berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan yang dimaksud Eddy adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Jadi pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara, yang pertama, itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi," kata Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/6/2021).
Baca juga: Soal RUU KUHP, LBH Jakarta Singgung Resolusi PBB
Eddy menjelaskan, perbedaan pasal tersebut adalah jenis delik.
Dia menyebut delik yang dihapus MK adalah delik biasa. Sementara dalam RUU KUHP, diganti menjadi delik aduan.
"Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," ucapnya.
"Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah Presiden atau Wakil Presiden," lanjutnya.
Draf Rancangan Undang-Undang KUHP telah dibuka kepada publik. Dalam draf itu, diatur pula pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan draf RUU KUHP yang didapatkan Tribunnews.com, hal itu termaktub pada Bab II yang mengatur Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Awalnya diatur pasal yang akan dikenakan kepada orang yang menyerang diri presiden maupun wakil presiden. Ancaman pidana lima tahun menanti bagi yang melanggar pasal ini.
Hal itu tercantum dalam Pasal 217 yang berbunyi :
Pasal 217