TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) menyesalkan dan menolak masuknya delik penghinaan presiden dan DPR dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP).
“Pasal penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU-KUHP mencederai esensi demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat. Pasal tersebut punya potensi menjadi pasal karet yang menghambat diskursus publik yang sehat,” kata Ketua DPP PSI, Tsamara Amany, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/6/2021).
PSI tak melihat relevansi pasal-pasal semacam itu diterapkan di era demokrasi saat ini.
Indonesia justru akan mundur puluhan tahun jika menerapkannya.
“Kalau dalam konteks pasal penghinaan Presiden, Pak Jokowi dari dulu biasa difitnah, tapi beliau selalu menjawab dengan kerja. Kritik seharusnya dibalas dengan kerja, bukan ancaman penjara. Itu pula yang seharusnya dilakukan DPR. Kalau ada yang mengkritik DPR, tunjukkan dengan perbaikan kinerja,” lanjut mahasiswa S2 New York University tersebut .
Lebih jauh, kata Tsamara, sebaiknya DPR mengkaji ulang dan menghapus pasal-pasal ini dari RUU KUHP.
Baca juga: Wamenkumham: Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dalam Draf RUU KUHP Beda dengan yang Dicabut MK
Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam draft RUU KUHP terbaru.
Penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.
Bila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara.
Sementara itu, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara.