Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menegaskan pihaknya berhak mendapatkan keterangan dari siapapun dan di manapun di negeri ini.
Hal itu, kata Anam, didasarkan pada bunyi Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pernyataan itu ditegaskan Anam menjawab tudingan Politisi PDI-Perjuangan Kapitra Ampera yang menyebut Komnas HAM tidak punya hak untuk memanggil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK.
"Berdasarkan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang di situ diatur soal kewenangan kami, Komnas HAM berhak memanggil siapapun di negeri ini, Komnas HAM berhak untuk mendapatkan keterangan di negeri ini. Di manapun, dari siapa pun," kata Anam saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta pada Rabu (9/6/2021).
Baca juga: Bukan Kali Pertama Berurusan dengan KPK, Komnas HAM Pernah Dapat Keterangan Kasus Air Keras Novel
Untuk diketahui Pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 mengatur tentang tugas dan wewenang Komnas HAM.
Pada ayat 3 disebutkan, untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan sejumlah hal di antaranya sebagaimana dikutip dari undang-undang tersebut:
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang dilakukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
Baca juga: Komnas HAM Kirim Surat Panggilan Kedua untuk Pimpinan dan Sekjen KPK Terkait TWK
d. pemanggilan saksi untuk diminta didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Dalam pasal 94 undang-Undang tersebut juga diatur tentang kewajiban para pihak untuk memenuhi permintaan keterangan Komnas HAM.
Berikut bunyi pasal 94 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.
Ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 Undang-Undang tersebut yakni dimungkinkan untuk pemanggilan paksa.
Berikut bunyinya:
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Diberitakan sebelumnya, Politisi PDI-Perjuangan Kapitra Ampera mendukung langkah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri dan pimpinan lainnya yang tidak hadir pemanggilan Komnas HAM perihal laporan 51 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) alih status menjadi ASN.
Kapitra meminta Firli tidak perlu hadir panggilan Komnas HAM karena bukan kewenangannya.
“Terlalu jauh, Komas HAM tidak punya hak untuk memanggil Ketua KPK. KPK harus abaikan panggilan karena bukan yuridiksinya, ucap Kapitra Ampera kepada wartawan di Jakarta, Rabu (2/6/2021).
Kapitra menyebutkan, berdasarkan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Oleh karena itu, aneh menurutnya, Komnas HAM ikut campur dalam urusan TWK KPK.
“Kewenangan Komnas HAM menurut UU nomor 26/2000 hanya terbatas kepada pelanggaran HAM berat yang berupa crime again humanity dan genoside,” pungkas Kapitra.