News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU KUHP

SETARA Institute Sebut 3 Hal yang Menjadi Atensi Penting dalam Draf KUHP

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

FOTO DOKUMENTASI/Aksi ribuan mahasiswa yang menolak RUU KUHP dan UU KPK di depan Gedung DPRD Jatim menutup total akses Jalan Indrapura, Rabu (25/9/2019). SURYAOnline/Nur Ika Anisa

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Draf  RKHUP 2019 kembali digaungkan dan disosialisasikan ke berbagai kota sejak Februari hingga Juni 2021.

Sayangnya, agenda reformasi hukum pidana tersebut justru menuai berbagai polemik dari berbagai kalangan masyarakat karena beberapa pasal di dalamnya justru mengundang kontroversi.

Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, mengatakan setidaknya terdapat 3 hal yang menjadi atensi penting dalam substansi RKUHP tersebut.

Pertama, kata dia, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan lembaga negara.

"Dalam sejarah ketatanegaraan, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP," kata Ismail, Rabu (9/6/2021).

Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden dan DPR di RUU KUHP: Menkumham Anggap Lumrah, PSI Menolak

Melalui Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006, MK menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Demikian pula dengan pasal penghinaan terhadap pemerintah, MK melalui putusannya No. Nomor 6/PUU-V/2007 memutus bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah telah bertentangan dengan UUD NRI 1945.

"Oleh karenanya, penghidupan kembali pasal penghinaan baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi," kata Ismail.

Terlebih, Ismail mengatakan  penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara.

"Bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah," ujarnya.

Padahal, menurut Ismail, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik.

Kedua, ketentuan pidana bagi gelandangan.

"Pidana denda bagi setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum seolah telah menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal memahami esensi perlindungan HAM yang termaktub dalam konstitusi," katanya.

Menuru Ismail, gelandangan sebagai individu yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah bahwa masih jauhnya tingkat kesejahteraan warga negaranya.

"Alih-alih hadir untuk memelihara gelandangan, pemerintah justru menjatuhkan pidana denda," katanya.

Lagi-lagi,  Ismail mengatakan pemerintah abai terhadap amanah konstitusi bahwa negara harus hadir untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana terejawantahkan dalam Pasal 34 (1) UUD NRI 1945.

Ketiga, beberapa pasal dalam draft RKUHP merupakan bentuk intervensi yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu, misalnya terkait pasal perzinaan dan kumpul kebo.

"Betapapun zina dan kumpul kebo merupakan tindakan yang amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana," katanya.

Ismail mengatakan selama perbuatan tersebut dilakukan secara konsensual dan tidak ada unsur paksaan atau kekerasan, maka tidak seharusnya pemerintah masuk terlalu dalam hingga menjatuhi sanksi pidana.

"Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi," ujarnya.

Menurutnya perbuatan tercela yang seharusnya pemerintah hadir untuk melakukan intervensi adalah ketika perbuatan tersebut telah dilakukan dengan unsur paksaan dan menyebabkan kekerasan dalam hubungan seksual sehingga menimbulkan korban, misalnya terkait perkosaan, sehingga negara harus hadir untuk menjamin keadilan bagi setiap warga negaranya.

Atas berbagai hal tersebut, SETARA Institute menyatakan:

1. Menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru menciderai hak-hak konstitusional warga negara.

2. Mendesak agar DPR bersama Pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara.

3. Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini