Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi menanggapi soal pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Menurut Hendardi, pemanggilan itu bukan saja tidak tepat tetapi juga berkesan mengada-ada.
"Karena seperti hanya terpancing irama genderang yg ditabuh 51 pegawai KPK yg tidak lulus TWK (Jumlahnya kurang dari 5,4 persen pegawai KPK,red)," kata Hendardi dalam keterangannya kepada Tribunnews, Kamis (10/6/2021).
Baca juga: Komnas HAM Akan Panggil Ketua dan Sekjen KPK Terkait TWK, Pertemuan Dijadwalkan Minggu Depan
Lebih lanjut, Hendardi mengatakan, Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yg profesional adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN).
Dan hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN.
"Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana," terang Hendardi.
Maka, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi.
Baca juga: Jawab Kapitra Ampera, Choirul Anam: Komnas HAM Berhak Dapat Keterangan dari Siapa Pun di Negeri Ini
"Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi dimana ada dugaan pelanggaran HAM yg terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN," ucap Hendardi.
Analoginya, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM?
Dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun.
Baca juga: Tjahjo Kumolo Siap Hadir Jika Dipanggil Komnas HAM
"Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights)," katanya.
Ia menambahkan, dalam persoalan alih status menjadi ASN dimanapun, sangat wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU.
Karena, untuk menjadi calon pegawai negeri pun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.
Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus yang menuntut diistimewakan.
Dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi misalnya seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM).
Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid.
"Sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dll. Tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu," tutupnya.