TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU KH Arifin Junaidi menolak rencana pemerintah menarik pajak terhadap jasa pendidikan. Ia meminta pemerintah segera menganulir rencana tersebut.
Menurut Arifin, alasan pemerintah menarik pajak dari jasa pendidikan tidak dapat dipahami.
Arifin kemudian menyinggung rencana pemerintah yang sempat memasukkan pendidikan dalam RUU Omnibus Law.
"LP Ma'arif NU PBNU menolak rencana penghapusan bebas pajak bagi lembaga pendidikan, dan meminta pemerintah membatalkannya," ujar Arifin.
"Setelah gagal memasukkan pendidikan dalam rezim bisnis saat menyusun RUU Omnibus Law, kini pemerintah akan mengenakan pajak bagi lembaga pendidikan," ucap Arifin.
Penarikan pajak, menurut Arifin, bertentangan dengan upaya mencerdaskan bangsa dari pemerintah dan masyarakat.
"Ini bertentangan dengan upaya mencerdaskan bangsa yang menuntut peran pemerintah dan keterlibatan masyarakat. Harusnya pemerintah mendukung partisipasi masyarakat," kata Arifin.
LP Ma'arif NU, Arifin mengungkapkan sampai saat masih terus bergerak dan bergiat di bidang pendidikan bukan untuk mencari keuntungan finansial.
Baca juga: Pimpinan MPR Tegaskan Rencana Pajak Jasa Pendidikan Tidak Sesuai Pancasila
Melainkan untuk terus berperan serta dalam upaya mencerdaskan bangsa sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945.
LP Ma'arif NU, katanya, bergiat di bidang pendidikan jauh sebelum kemerdekaan RI.
Saat ini LP Ma'arif NU menaungi sekitar 21.000 sekolah dan madrasah di seluruh Indonesia, sebagian besar ada di daerah 3 T.
"Dalam menetapkan biaya pendidikan yang harus ditanggung murid, jangankan menghitung komponen margin dan pengembalian modal, dapat menggaji tenaga didik kependidikan dengan layak saja merupakan hal yang berat. Karena hal itu akan sangat memberatkan orang tua murid," kata Arifin.
Hal tersebut yang menyebabkan gaji tenaga didik kependidikan di lingkungan LP Ma'arif NU harus diakui masih jauh dari layak, karena jauh di bawah UMK.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir juga menyatakan penolakan terhadap rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada jasa pendidikan.
"Muhammadiyah dengan tegas menolak dan sangat berkeberatan atas rencana penerapan PPN untuk bidang pendidikan sebagaimana draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan," ujar Haedar.
Menurut Haedar, seharusnya pemerintah bertanggungjawab dan berkewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk penyediaan anggaran 20 persen.
Menurutnya, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan dari agama lain seharusnya mendapatkan penghargaan dalam bidang pendidikan.
"Bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan. Kebijakan PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan," tutur Haedar.
Haedar menilai rencana penerapan PPN bidang pendidikan sangat bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca juga: PAN dan Muhammadiyah Bagi Tugas, Menentang Rencana PPN untuk Pendidikan
Pemerintah, termasuk Kemenkeu, dan DPR, kata Haedar, semestinya memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela.
"Pemerintah dan DPR mestinya tidak memberatkan organisasi kemasyarakatan penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan perpajakan yang nantinya akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil," kata Haedar.
Peran lembaga pendidikan tersebut, menurut Haedar, telah ikut meringankan beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang belum sepenuhnya merata.
Haedar menilai jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan, maka yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN, justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi.
"Sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan. Lantas mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ujar Haedar.
Menurutnya, saat ini beban pendidikan Indonesia sangatlah tinggi dan berat, terlebih di era pandemi Covid-19.
Baca juga: Wacana PPN Pendidikan, Pemerintah Klaim Ada di Barisan NU dan Muhammadiyah
Di daerah-daerah 3T bahkan pendidikan masih tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan, yang belum terdapat pemerataan oleh pemerintah.
Pendidikan Indonesia, kata Haedar, juga semakin berat menghadapi tantangan persaingan dengan negara-negara lain, di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di bawah.
"Kini mau ditambah beban dengan PPN yang sangat berat. Di mana letak moral pertanggungjawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?" tutur Haedar.
Dirinya mengajak para anggota DPR dan elite partai politik agar bersatu menolak draf PPN di bidang pendidikan sebagai wujud komitmen pada Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai luhur bangsa, persatuan, dan masa depan pendidikan Indonesia.
"Lupakan polarisasi politik dan kepentingan politik lainnya demi menyelamatkan pendidikan Indonesia yang saat ini sarat beban, sekaligus menyelamatkan Indonesia dari ideologi liberalisme dan kapitalisme yang mendistorsi konstitusi, Pancasila, dan nilai luhur keindonesiaan," kata Haedar. (tribun network/Fahdi Fahlevi)