Kemudian ia membandingkannya dengan Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan oleh Soesilo.
Soesilo, lanjut dia, mengatakan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun.
"Ini perbedaan sangat signifikan. Satu pidana mati, saru enam tahun. Ini serius. Belum lagi berbagai macam unsur, berbagai macam elemen dalam pasal-pasal yang digunakan," kata Eddy
Contoh lain, lanjut dia, ada pada pasal 362 KUHP yang berbunyi barang siapa mengambil barang sebagian atau seluruhnya punya orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
Secara melawan hukum itu, kata dia, Moeljatno menerjemahkan kata yang dimaksud sebagai melawan hukum.
Namun Soesilo, kata dia, menerjemahkannya bukan melawan hukum melainkan melawan hak.
"Melawan hak termasuk di dalam melawan hukum. Tetapi melawan hukum tidak hanya melawan hak. Jadi, hal-hal kecil seperti ini itu menimbulkan ketidakpastian hukum," kata dia.
Dengan demikian, kata Eddy, jika kita menunda KUHP untuk disahkan berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin masyarakat tetap berada dalam ketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti.
Ia menlanjutkan, oleh sebab itu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Muladi, selalu menekankan bahwa di masa depan asas dan sistem hukum nasional harus disusun berdasarkan ide keseimbangan.
Ide keseimbangan tersebut, lanjut dia, mencakup keseimbangan antara individu dan masyarakat, antara perlindungan korban dan individualisasi pidana, antara perbuatan dan sikap batin seseorang, antara kepastian hukum dan keadilan, dan antara nilai nasional dan internasional.
"Oleh karena itu, politik hukum pidana nasional yang didasari pada keseimbangan-keseimbangan tersebut perlu diarahkan pada proses seleksi suatu perbuatan dalam artian melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan serta menyeleksi berbagai alternatif pemidanaan dan tujuan pemidanaan di masa depan," kata dia.