TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Omar Sharif Hiariej menjelaskan saat ini yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah rekodifikasi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Rekodifikasi, kata Eddy, pasal-pasal yang semula ada dalam KUHP, dikeluarkan dari KUHP, kemudian kembali dihimpun, dikumpulkan, dan dimasukan kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sejak kemerdekaan, kata dia, KUHP warisan kolonial Belanda telah berkembang secara masif dan banyak menyimpang dari asas-asas hukum pidana itu.
Perkembangan tersebut, kata dia, berkaitan erat dengan hukum pidana murni maupun pidana administratif terutama mengenai tiga permasalahan utama dalam hukum pidana sebagaimana ditulis dalam buku The Limits of Criminal Sanction.
Tiga hal tersebut yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act) perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment) ataupun tindakan (threatment).
Baca juga: Wamenkumham: Meski Penjara Tercantum Sebagai Pidana Pokok di RUU KUHP, Namun Bukan yang Utama
Menurutnya, rekodifikasi KUHP yang tengah digarap pemerintah dan DPR mendesak untuk segera disahkan karena selama hampir 76 tahun masyarakat Indonesia hidup dengan KUHP yang tidak pasti.
Hal tersebut disampaikannya dalam Keynote Speech pada Diskusi Publik RUU KUHP yang digelar Kemenkumham RI di Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021).
"Sebab, kita hidup selama hampir 76 tahun dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti. Padahal, bapak-ibu tahu persis, bahwa KUHP yang berlaku di ruang-ruang sidang pengadilan itu telah dipakai untuk menghukum bukan satu-dua orang, bukan puluhan-ratusan-atau ribuan orang, tetapi jutaan orang dihukum dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti. Saya berani mengatakan bahwa KUHP yang dipakai itu adalah yang tidak pasti," kata Eddy.
Eddy mengatakan hal itu karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, hanya menyatakan berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan bahwa segala badan yang ada dan segala peraturan masih tetap berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
"Sehingga yang berlaku sejak Januari 1918 adalah adalah (KUHP Belanda), tetapi pemerintah tidak pernah menetapkan KUHP yang mau dipakai itu yang mana, apakah terjemahannya Moeljatno ataukah terjemahannya Soesilo," kata Eddy.
Eddy mengatakan, ada perbedaan-perbedaan terjemahan yang sangat signifikan yang tidak pernah disadari antara kedua terjemahan tersebut.
Ia mencontohkan Pasal 110 KUHP tentang permufakatan jahat.
Dalam KUHP yang diterjemahkan Moeljatno, lanjut Eddy, dikatakan permufakatan jahat untuk melakukan makar sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan itu dilakukan.
Dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan, kata dia, itu berarti pidana mati.
Kemudian ia membandingkannya dengan Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan oleh Soesilo.
Soesilo, lanjut dia, mengatakan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun.
"Ini perbedaan sangat signifikan. Satu pidana mati, saru enam tahun. Ini serius. Belum lagi berbagai macam unsur, berbagai macam elemen dalam pasal-pasal yang digunakan," kata Eddy
Contoh lain, lanjut dia, ada pada pasal 362 KUHP yang berbunyi barang siapa mengambil barang sebagian atau seluruhnya punya orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
Secara melawan hukum itu, kata dia, Moeljatno menerjemahkan kata yang dimaksud sebagai melawan hukum.
Namun Soesilo, kata dia, menerjemahkannya bukan melawan hukum melainkan melawan hak.
"Melawan hak termasuk di dalam melawan hukum. Tetapi melawan hukum tidak hanya melawan hak. Jadi, hal-hal kecil seperti ini itu menimbulkan ketidakpastian hukum," kata dia.
Dengan demikian, kata Eddy, jika kita menunda KUHP untuk disahkan berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin masyarakat tetap berada dalam ketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti.
Ia menlanjutkan, oleh sebab itu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Muladi, selalu menekankan bahwa di masa depan asas dan sistem hukum nasional harus disusun berdasarkan ide keseimbangan.
Ide keseimbangan tersebut, lanjut dia, mencakup keseimbangan antara individu dan masyarakat, antara perlindungan korban dan individualisasi pidana, antara perbuatan dan sikap batin seseorang, antara kepastian hukum dan keadilan, dan antara nilai nasional dan internasional.
"Oleh karena itu, politik hukum pidana nasional yang didasari pada keseimbangan-keseimbangan tersebut perlu diarahkan pada proses seleksi suatu perbuatan dalam artian melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan serta menyeleksi berbagai alternatif pemidanaan dan tujuan pemidanaan di masa depan," kata dia.