Laporan Wartawan Tribun Network, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) membuka kemungkinan memeriksa majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta menyusul 'diskon' hukuman yang diberikan kepada mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Sepanjang ada dugaan atau laporan pelanggaran perilaku hakim, bukan tidak mungkin akan diperiksa. Namun, sekali lagi, konteksnya dugaan pelanggaran perilaku dan bukan salah atau benarnya materi putusan," kata Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting kepada Tribun, Selasa(15/6/2021).
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding yang diajukan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Putusan banding itu membuat hukuman terpidana kasus yang berkaitan dengan Djoko Tjandra tersebut berkurang jauh dibanding putusan hakim pada tingkat pertama.
Hal itu tertuang di dalam Putusan nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yang diputuskan pada Selasa (8/6/2021).
Pada putusan tingkat pertama yang dijatuhkan pada 8 Februari 2021, Pinangki divonis 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta.
Baca juga: Hakim Kabulkan Banding Pinangki, Hanya Dihukum 4 Tahun, Vonis 10 Langsung Dipotong
Jika denda tak dibayarkan, maka diganti dengan hukuman penjara 6 bulan. Lalu, putusan tingkat banding itu memvonis hukuman terhadap Pinangki selama 4 tahun penjara dan denda Rp600 juta.
Baca juga: Hukuman Pinangki Dikurangi, MAKI: Mencederai Rasa Keadilan Masyarakat
Jika denda tak dibayarkan, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. Artinya, lama hukuman bagi Pinangki turun 6 tahun dari sebelumnya.
Baca juga: Apa Alasan Hakim PT Jakarta Potong Masa Tahanan Jaksa Pinangki dari 10 Tahun Jadi 4 Tahun?
Terkait hal tersebut kata Miko dengan basis peraturan perundang-undangan saat ini, Komisi Yudisial tidak diberikan kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan.
Namun, Komisi Yudisial kata Miko berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
"UU yang ada saat ini memberikan kewenangan bagi KY untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk rekomendasi mutasi hakim," ungkapnya.
"Putusan yang dianalisis harus sudah berkekuatan hukum tetap dan tujuannya untuk kepentingan rekomendasi mutasi,"ujar Miko.
Kata Miko, keresahan publik terhadap putusan ini sebenarnya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi.
Dari situ, dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan.
"Sekali lagi, peraturan perundang-undangan memberikan batasan bagi KY untuk tidak menilai benar atau tidaknya suatu putusan. KY hanya berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran perilaku hakim,"ujar Miko.