Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapakan empat eks anggota DPRD Jambi sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengesahan RAPBD Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017-2018.
Mereka yaitu Fahrurrozi (FR), Arrakhmat Eka Putra (AEP), Wiwid Iswhara (WI), dan Zainul Arfan (ZA).
Plh Deputi Penindakan KPK Setyo Budiyanto mengatakan keempat mantan anggota DPRD jambi tersebut diduga menerima suap "ketok palu" dengan nominal bervariasi di rentang Rp200-300 juta.
"Khusus untuk para tersangka yang duduk di Komisi III diduga telah menerima sejumlah uang: FR menerima sejumlah sekitar Rp 375 juta; AEP menerima sejumlah sekitar Rp 275 juta; WI menerima sejumlah sekitar Rp 275 juta; ZA menerima sejumlah sekitar Rp 375 juta," jelas Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (17/6/2021).
Dalam perkara ini sebelumnya KPK telah menetapkan tersangka sebanyak 18 orang dan saat ini telah diproses hingga persidangan.
Baca juga: Komnas HAM Butuh Keterangan Empat Pimpinan KPK Lain Untuk Ungkap Polemik TWK
Adapun para pihak yang diproses tersebut terdiri dari gubernur, pimpinan DPRD, pimpinan fraksi DPRD, dan pihak swasta.
Setyo menerangkan, para unsur pimpinan DPRD Jambi diduga meminta uang ketok palu, menagih kesiapan uang ketok palu, melakukan pertemuan untuk membicarakan hal tersebut, meminta jatah proyek dan/atau menerima uang dalam kisaran Rp 100 juta atau Rp 600 juta perorang.
Baca juga: Nurul Ghufron Klarifikasi ke Komnas HAM soal Isu Taliban di KPK
Setyo menambahkan, para unsur pimpinan fraksi dan komisi di DPRD Jambi diduga mengumpulkan anggota fraksi untuk menentukan sikap terkait dengan pengesahan RAPBD Jambi, membahas dan menagih uang “ketok palu”, menerima uang untuk jatah fraksi sekira dalam kisaran Rp400juta, hingga Rp700juta untuk setiap fraksi, dan/atau menerima uang untuk perorangan dalam kisaran Rp100juta, Rp140juta, atau Rp200 juta.
Kata dia, pelaku korupsi dari sektor politik ini tercatat termasuk yang terbanyak ditangani KPK.
"Hal ini tentu saja merupakan sisi yang buruk bagi demokrasi yang sedang kita jalankan. Semestinya kepercayaan rakyat yang diberikan pada para wakilnya di DPR ataupun DPRD tidak disalahgunakan untuk mencari keuntungan pribadi," katanya.