TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TIDAK banyak prajurit ABRI (kemudian bernama TNI) yang mendapatkan Bintang Sakti, sebuah penghargaan yang diberikan pemerintah Presiden Soekarno terkait operasi militer pembebasan Irian Barat (Papua).
Satu di antara penerima Bintang Sakti tersebut adalah Mayor LB Moerdani, seorang prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Pasukan elite tersebut dikemudian hari berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Penerima Bintang Sakti harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya menujukkan dedikasi tinggi, melebihi panggilan tugas. Selain itu juga harus tidak pernah tertangkap pasukan musuh dan tidak pernah menyerah dalam pertempuran.
Pada suatu waktu, Benny Moerdani (panggilan akrab LB Moerdani, terakhir berpangkat Jenderal TNI dan menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan Kabinet Pembangunan IV), dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, Jakarta.
Pada saat itu Benny Moerdani baru saja mendamaikan keributan fisik antara prajurit Marinir TNI AL (saat itu bernama Korps Komando Operasi/KKO Angkatan Laut) dengan prajurit RPKAD.
Dalam obrolan di beranda belakang Istana, Presiden Soekarno (Bung Karno), meminta Benny menjadi prajurit Tjakrabirawa , pasukan pengawal presiden yang dikemudian hari bernama Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres).
Tentu saja Benny terkejut mendengar permintaan tersebut.
“Bapak Presiden, saya ingin jadi tentara betulan,” kata Benny menolak halus keinginan Bung Karno.
Tentu saja Bung Karno keheranan. “Lho apa kau pikir Tjakrabirawa bukan tentara…” kata Bung Karno dengan nada tinggi.
“Tidak begitu Pak. Saya ingin menjadi Komandan Brigade,” jawab Benny.
“Oh, kamu pahlawan ya, pemegang Bintang Sakti. Tetapi menjadi Komandan Brigade?” Bung Karno mulai melunak.
Kemudian permintaan menjadi anggota Tjakrabirawa tidak muncul lagi dalam pembicaraan tersebut. Namun selanjutnya Bung Karno membisikkan permintaan yang tak kalah mengejutkan.
“Saya ini sebetulnya ingin anakku kawin dengan seorang prajurit. Ya memang seperti engkau ini…” ujar Pemimpin Besar Revolusi itu kepada Benny Moerdani.
Pada saat itu Bung Karno mempunyai tiga anak perempuan yaitu Megawati Soekarnoputri, Rachmawati, dan Sukmawati.
Dalam buku ‘Benny, Tragedi Seorang Loyalis’, karya Julius Pour, Penerbit Kata Hasta Pustaka, Cetakan Keempat, Edisi Revisi April 2009, tidak diungkapkan siapa putri Presiden Soekarno yang hendak dinikahkan dengan Benny Moerdani.
Pada saat itu Bung Karno menggunakan kalimat berbunga-bunga, melukiskan keinginannya untuk menjodohkan seorang putrinya.
Sayang keinginan Bung Karno itu bertepuk sebelah tangan karena Benny menyatakan sudah punya tunangan, yaitu seorang mantan pramugari Garuda, bernama Hartini.
Kisah unik muncul ketika Benny menikah dengan Hartini. Setelah menikah di Kantor Catatan Sipil, pada 12 Desember 1964, pesta perkawinan dilangsungkan di Istana Bogor atas perintah Bung Karno.
Ternyata keluarga Hartini sangat dikenal oleh Bung Karno. Paman Hartini, Ir Anwari, merupakan teman kuliah Bung Karno di Technische Hooge School (ITB), Bandung.
Baca juga: Jenderal Benny Moerdani Bikin Marah Presiden Soeharto di Ruang Biliar
Resepsi nikah di Istana Bogor
Ketika Ir Anwari diundang ke Istana untuk menerima sebuah penghargaan, Hartini dan keluarganya ikut serta. Sejak saat itu Bung Karno mengenal secara pribadi Hartini dan keluarganya.
Tah heran ketika Hartini balik ke Indonesia setelah mengikuti pendidikan di East West Centre di Hawaii, Amerika Serikat, ia ditanya oleh Bung Karno mengapa tidak segera menikah.
“Kamu kok nggak kawin-kawin, apa sih alasannya,” tanya Bung Karno.
“Saya kan sudah punya pacar Pak,” jawa Hartini.
“Siapa,” tanya Bung Karno lagi. Secara terus terang Hartini menyebut nama Mayor Benny.
Pada saat itu Hartini sudah berpacaran dengan Benny Moerdani selama tujuh tahun.
“Ohhh….Benny ya,” kata Bung Karno yang langsung teringat pada sosok prajurit yang pernah diminta menjadi menantunya itu.
Spontan Bung Karno memberi perintah. “Kamu kan nggak punya orangtua. Pokoknya, kalian kawin saja, nanti saya pestakan di Bogor.”
Sesuai janjinya, Bung Karno menggelar pesta pernikahan Benny-Hartini di Istana Bogor, dihadiri sekira 30 tamu, termasuk tamu kehormatan Panglima TNI AD Letnan Jenderal TNI Achmad Yani.
Setelah acara resepsi di Istana Bogor, Benny bertanya kepada sang istri apakah tidak ingin menggelar acara yang bisa dihadiri teman-temannya.
Hartini setuju, namun masalah muncul karena mereka tidak punya cukup uang untuk menyewa gedung. Mendadak Benny Moerdani teringat kepada temannya, dr Joseph Halim, perwira kesehatan yang pernah sama-sama bertugas di Papua.
“Dok bisa bantu saya? Saya perlu ruangan untuk pesta kawin, tapi saya tidak punya uang,” kata benny kepada Joseph Halim. Setelah memutar otak, Joseph Halim menemukan jalan.
Kebetulan, Joseph saat itu berpacaran dengan Komandan Detasemen Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal).
“Gampang. Nanti kita pinjam bangunan baru Gedung Panti Perwira di Jalan Prapatan (Jakarta),” ujar Joseph Halim.
Alhasil Benny-Hartini menggelar pesta nikah di gedung milik TNI AL, tidak jauh dari asrama KKO di Kwini.
Di lokasi tersebut beberapa waktu sebelumnya terjadi insiden bentrokan antara anggota KKO dengan anggota RPKAD dan Benny menjadi orang berhasil mendamaikan konflik tersebut. (*)
* Dikutip dari buku ‘Benny, Tragedi Seorang Loyalis’, karya Julius Pour, Penerbit Kata Hasta Pustaka, Cetakan Keempat, Edisi Revisi, April 2009.
Baca juga: Perkataan Sintong Panjaitan kepada Prabowo Jadi Kenyataan 34 Tahun Kemudian