Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akan menggelar sidang lanjutan perkara dugaan suap ekspor benih bening lobster atau benur atas terdakwa eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dkk.
Adapun untuk sidang hari ini, jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) akan membacakan tuntutannya atas perkara dugaan suap tersebut.
Sidang beragendakan tuntutan ini rencana akan digelar di ruang sidang utama Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat.
Baca juga: KPK Buka Peluang Selidiki Keterlibatan Fahri Hamzah di Kasus Benur Edhy Prabowo
"Betul (sidang tuntutan hari ini), digelar sekitar pukul 10.00 WIB," kata kuasa hukum Edhy Prabowo, Soesilo Aribowo saat dikonfirmasi Tribunnewscom, Selasa (28/6/2021).
Rencananya selain Edhy Prabowo, JPU KPK juga akan membacakan untuk terdakwa lainnya yang turut terlibat dalam perkara ini.
Seluruh terdakwa itu yakni Andreau Misanta Pribadi dan Safri, yang merupakan Staf khusus Edhy Prabowo kala menjadi Menteri.
Baca juga: Edhy Prabowo Disebut Pernah Memberikan Uang Kepada Atlet Silat Uzbekistan Munisa Rabbimova
Kemudian, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, dan Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy Prabowo,Iis Rosita Dewi.
Serta dari pihak swastanya yakni Sidwadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK).
Pada persidangan Rabu pekan lalu, terdakwa dugaan suap ekspor benih bening lobster atau benur eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan harapannya agar dapat divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Berharap Dijatuhi Vonis Bebas
Hal itu didasari kata Edhy, berdasar dari keterangan puluhan saksi yang dihadirkan selama persidangan digelar.
"Saya berharap dari hasil kesaksian 70 lebih yang dihadirkan di sini saya berharap majelis hakim tuntutan maupun putusan bisa membebaskan saya," kata Edhy saat ditemui awak media disela-sela persidangan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu (16/6/2021).
Kendati begitu, politisi dari Partai Gerindra itu menyatakan tetap akan mempertanggung jawabkan perbuatannya yakni dengan terus mengikuti proses persidangan.
"Tapi, saya tak akan lari dari tanggungjawab makanya saya hadir di sini," tuturnya.
"Saya sudah 6,5 bulan lebih ditahan di KPK. Saya gak bangga, tapi saya jalani sebagai tanggungjawab moral saya terhadap sebagai seorang menteri, sebagai seorang pemimpin di tempat ini," katanya menambahkan.
Lanjut Edhy juga menilai dirinya telah banyak berjasa untuk negara saat menjabat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Edhy menyatakan saat menjabat sebagai menteri, dirinya memiliki dua tugas penting yang dinilainya menjadi pertimbangan hakim untuk memberikan kebebasan kepadanya.
"(Pertama) membangun komunikasi dengan nelayan, pembudidaya ikan, petambak, dan seluruh stakeholder perikanan. Kedua adalah membangun sektor perikanan budi daya," tutur Edhy.
Serta, dirinya juga mengemban tugas kedua yang dinilainya lebih berat yakni harus bekerja cepat untuk mengimplementasikan sektor perikanan dan budi daya laut di Indonesia.
"Apapun yang berhubungan dengan pembangunan komunikasi ya ini, anda lihat selama satu tahun pertama komunikasi kami dengan stakeholder bisa dicek langsung ke mereka," tukas Edhy.
Diketahui dalam perkara ini, Edhy Prabowo didakwa menerima suap senilai Rp25,7 milar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.
Penerimaan suap ini dilakukan secara bertahap yang berkaitan dengan penetapan izin ekspor benih lobster atau benur tahun anggaran 2020.
Penerimaan suap itu diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui staf khususnya, Andreau Misanta Pribadi dan Safri; sekretaris Menteri KP, Amiril Mukminin; staf pribadi istri Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI), sekaligus pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Pemberian suap ini setelah Edhy Prabowo menerbitkan izin budidaya lobster untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp) dari wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberian suap juga bertujuan agar Edhy melalui anak buahnya Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bibit lobster perusahaan Suharjito dan eksportir lainnya.
Perbuatan Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta bertentangan dengan sumpah jabatannya.
Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.