Selama ini Mulyanto melihat pemerintah terkesan adem-adem dan membiarkan riset vaksin inovasi domestik ini berjalan bisnis as usual. Tidak seperti sikap pemerintah terhadap vaksin impor.
Padahal penggunaan vaksin Merah Putih sangat penting sebagai upaya untuk membangun keunggulan SDM dan kemampuan inovasi domestik. Dengan demikian Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan sekedar menjadi pasar bisnis vaksin semata.
"Sayang anggaran dari utang yang terbatas ini terkuras habis untuk membeli puluhan juta vaksin impor," kata Mulyanto.
Mulyanto prihatin saat ini dana untuk riset vaksin di LBM Eijkman tidak lebih dari 10 M. Angka ini jauh dari memadai, apalagi kalau dibandingkan dengan dana untuk impor vaksin yang ratusan triliun rupiah.
Seharusnya pemerintah mengalokasikan dana riset yang cukup, sehingga vaksin Merah Putih dapat diproduksi lebih awal.
"Tapi nyatanya, dalam RDP Komisi VII DPR RI dengan Konsorsium Riset Covid-19 terakhir dilaporkan, bahwa produksi Vaksin Merah Putih mundur, disebabkan karena BUMN Bio Farma tidak siap kalau vaksin tersebut didasarkan pada protein rekombinan mamalia," ujarnya.
Fasilitas produksi BUMN Bio Farma, lanjut Mulyanto, hanya siap kalau vaksin yang dikembangkan berbasis protein rekombinan ragi (yeast).
Karenanya terpaksa LBM Eijkman harus banting setir mulai dari nol lagi untuk mengembangkan riset vaksin berbasis ragi.
"Kalau poco-poco seperti ini terus, kita jadi pesimis. Sampai kapan Vaksin Merah Putih dapat diproduksi dan didistribusikan kepada masyarakat," pungkas Mulyanto.