Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mengungkapkan bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) adalah lembaga yang mengusulkan soal tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK.
Hal itu terkuak dalam pertimbangan putusan Dewas KPK atas laporan 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK.
"Ketentuan mengenai tes wawasan kebangsaan merupakan masukan dari BKN yang pertama kali disampaikan dalam rapat tanggal 9 Oktober 2020 serta dalam rapat harmonisasi KemenPANRB dan BKN," ucap Anggota Dewas KPK Harjono dalam jumpa pers virtual, Jumat (23/7/2021).
Dalam laporannya, 75 pegawai mempersoalkan sejumlah hal.
Salah satunya dugaan Ketua KPK Firli Bahuri yang menyelundupkan pasal mengenai TWK.
Baca juga: Dewan Pengawas KPK Sebut Firli Bahuri Tak Tambahkan Pasal TWK
TWK diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.
TWK disoroti lantaran hal itu tidak diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 serta Peraturan Pemerintah 41 Tahun 2020 yang menjadi turunannya.
Aturan soal alih status pegawai KPK menjadi ASN itu baru termuat dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.
Peraturan itu diteken oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Namun, berdasarkan pemeriksaan, Dewas KPK menyatakan bahwa Firli Bahuri bukan merupakan pihak yang memasukkan pasal mengenai TWK itu.
Dewas menyebut bahwa penyusunan Perkom Nomor 1 Tahun 2021 dibahas bersama seluruh pimpinan KPK dan pejabat struktural.
Ketentuan mengenai TWK tercantum dalam Pasal 5 ayat (4) saat Perkom masih berupa draf tertanggal 21 Januari 2021.
Draf dikirim oleh Sekretaris Jenderal KPK dan disetujui seluruh pimpinan dan disempurnakan pada rapat 25 Januari 2021.
Dewas mengungkapkan bahwa pihak yang pertama kali mengusulkan TWK ialah BKN.
Hal itu disampaikan dalam rapat pada 9 Oktober 2020.
Menurut Dewas KPK, ketika itu BKN meminta tetap ada asesmen wawasan kebangsaan untuk mengukur syarat pengalihan pegawai KPK menjadi ASN terkait kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintahan yang sah.
"(BKN) tidak setuju pemenuhan syarat tersebut hanya dengan penandatanganan surat pernyataan saja," kata Harjono.
Sebagai informasi tambahan, Ombudsman sudah merilis temuan mengenai TWK.
Salah satunya mengenai pelaksanaan TWK oleh BKN.
Ombudsman turut menemukan bahwa BKN menjadi pihak yang mengusulkan aturan dalam Peraturan KPK bahwa TWK dilakukan KPK bekerja sama dengan BKN.
Sehingga dengan demikian, KPK menjadi penyelenggara TWK.
Namun dalam pelaksanaannya, justru BKN yang hampir sepenuhnya melakukannya.
Akan tetapi, menurut Ombudsman, BKN justru tidak kompeten dalam melakukannya.
Baca juga: Dewas Nyatakan Pimpinan KPK Tak Cukup Bukti Langgar Etik Dalam Polemik TWK
Sebab, tidak memiliki alat ukur instrumen dan asesor dalam TWK.
Yang dimiliki BKN punya ialah alat ukur seleksi PNS.
Meski demikian BKN tetap melanjutkannya dengan menggunakan instrumen Dinas Psikologi TNI AD.
Padahal instrumen itu untuk lingkungan personel TNI.
"BKN tidak memiliki atau menguasai salinan dokumen Panglima tersebut, padahal dokumen itu dasar dinas Psikologi AD untuk melakukan asesmen, karena dia tidak memiliki dan menguasai jadi kita sulit untuk memastikan kualifikasi asesor yang dilibatkan, karena BKN tidak punya alat atau asesor tadi jadi mengundang 5 lembaga dalam hal ini Dinas Psikologi, BAIS, Pusintel AD, BNPT, BIN," ujar Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng.
"Ombudsman berpendapat bahwa BKN tidak kompeten. Ini Kalau di Ombudsman inkompetensi adalah salah satu bentuk malaadministrasi," imbuhnya.