News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Cerita Calon Hakim Agung Tangani Kasus Human Trafficking yang Korbannya Anak-anak Tapi Pernah Nikah

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Calon Hakim Agung Kamar Pidana yang saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawas Mahkamah Agung RI Suradi dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Selasa (3/8/2021).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Kamar Pidana yang saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, Suradi, menceritakan ketika menangani kasus human trafficking atau perdagangan orang.

Suradi menceritakan pengalamannya tersebut karena diminta oleh salah satu pewawancara dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021.

Pewawancara menanyakan hal tersebut karena berdasarkan catatan, Suradi pernah bertindak sebagai majelis di tahun 2018 untuk kasus perdagangan orang.

Selain itu, menurut pewawancara kasus perdagangan orang saat ini merupakan masalah yang cukup serius.

Baca juga: Calon Hakim Agung Suradi Ditanya Ketua KY soal Kasus Prita Mulyasari

Suradi kemudian mulai menceritakan pengalamannya.

Ia mengakui memang pernah menyidangkan perkara yang berkaitan dengan human trafficking.

Kasus tersebut, kata dia, terkait dengan adanya rekruitmen terhadap anak-anak atau belum dewasa untuk diperkerjakan di luar negeri. 

Dalam proses tersebut, kata dia, korban juga diiming-imingi.

Selain itu ia menjelaskan, dalam proses rekrutmen tersebut korbannya memang telah dididik dan memang bisa dikirimkan ke sana.

Tetapi, lanjut dia, ketika korban pulang ke Indoenesia ia mengalami tanda kekerasan di leher dan di pipi.

Padahal, kata dia, ketika berangkat sebelumnya tanda kekerasan tersebut tidak ada.

Setelah diusut, ternyata ada beberapa perusahaan pengerah tenaga kerja yang mempunyai orang suruhan untuk merekrut dengan iming-iming.

Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Selasa (3/8/2021).

"Yang jadi permasalahan sebenarnya bukan di situ, yang jadi permasalahan ketika itu apakah ini masih anak-anak atau sudah dewasa. Karena setelah dalam persidangan itu muncul fakta bahwa yang bersangkutan itu sudah pernah menikah siri," kata Suradi.

Suradi mengatakan dalam Undang-Undang Perkawinan, jika seseorang sudah menikah maka statusnya bukanlah anak-anak lagi, tetapi sudah dewasa.

Menghadapi problem hukum saat itu, kata dia, majelis juga melalui pertimbangan yang agak panjang dan mencari-cari sumber hukum yang cocok.

Dalam proses tersebut, kata dia, majelis kemudian menggunakan penafsiran yang mempersempit dalam arti perkawinan yang sah menurut kita itu selain menurut agama juga harus ada pendaftaran administrasi. 

"Berdasarkan itu kita patahkan argumen dari penasehat hukum bahwa yang bersangkutan belum dewasa. Jadi walaupun begitu, perkawinannya yang dilindungi menurut hukum Indonesia, perkawinan yang sah itu sah menurut agama juga harus dicatatkan di kantor catatan sipil. Baru itu negara yang wajib melindungi," kata dia.

Berdasarkan hal tersebut, kemudian majelis menyatakan bahwa perbuatan perdagangan orang terbukti. 

Namun, lanjut dia, persoalan tidak selesai di situ.

Ditemukan juga ada permasalahan yang sempat membuat majelis bingung yakni hukuman terhadap pelaku.

Pelaku dalam kasus tersebut, kata dia, dituntut untuk membayar restitusi (ganti kerugian), padahal pelakunya bukan orang yang kaya. 

Majelis pun tidak yakin pelaku bisa membayar restitusi.

"Akhirnya ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang kita pakai. Kita jatuhkan restitusi tapi dengan subsider, dengan pemidanaan," kata Suradi.

Tak berhenti di situ, pewawancara kemudian menanyakan pandangannya terkait Undang-Undang apakah yang digunakan dalam kasus perdagangan orang.

Hal itu mengingat berdasarkan data di tahun 2015, ada sekitar 138 putusan terkait kasus perdagangan orang yang umumnya menggunakan KUHP ketimbang Undang-Undang Perdagangan Manusia.

Suradi pun menjawab bahwa ketika itu yang digunakan adalah Undang-Undang Perdagangan Manusia sesuai dengan asas lex spesialis derogat legi generali atau asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Namun demikian, kata dia, ada hal-hal yang sifatnya diatur dalam Undang-Undang khusus misalnya perdagangan manusia juga diatur di KUHP.

Tetapi, kata dia, hal itu merupakan bagian dari politik hukum yang istilahnya pemberatan pidana. 

Dalam hal itu, lanjut dia, perbuatan pidana dipandang lebih menyakiti korban.

Dengan demikian, kata dia, pemberatan pidana terhadap pasal-pasal KUHP itu diambil alih diundangkan di Undang-Undang yang baru.

"Itu bukan hanya di human trafficking saja, beberapa peraturan perundang-undangan juga seperti itu. Itu seperti Undang-Undang Tipikor juga seperti. Itu adalah untuk meninggikan ancaman pidananya jadi biar hakim lebih leluasa dalam menjatuhkan hukuman yang seadil-adilnya bagi pelaku tindak pidana," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini