TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PAN yang juga mantan Wakil Ketua Pansus Sisnas Iptek, Andi Yuliani Paris kembali meminta pemerintah untuk melakukan revisi Perpres 33/2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) karena dinilai merupakan kemunduran terhadap Ilmu Penelitian dan Teknologi nasional.
Menurutnya Perpres 33/20121 bertentangan dengan sejumlah pasal di UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), terutama pasal 48.
Perpres tersebut memberikan mandat kepada BRIN untuk melakukan peleburan 4 lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang Iptek yakni: LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN.
Rencana ini dikatakan bertentangan dengan UU Sisnas Iptek Pasal 48 yang mengamanatkan BRIN untuk mengintegrasikan lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (litbangjirap) bukan sebagai pelaksana Litbang Jirap.
Baca juga: BRINS Perkuat Digitalisasi Bisnis di Masa Pandemi Covid-19
Dia juga mendorong agar pihak-pihak yang dirugikan untuk melakukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung agar Perpres 33/2021 dibatalkan.
"Kami di fraksi (PAN) enggak bisa melakukan apa-apa. Karena jumlah kursi kami yang kecil, hanya bisa mengingatkan ke pemerintah maupun Kepala BRIN,” ujarnya dalam acara Alinea Forum bertajuk 'Langkah Hukum Meluruskan Regulasi BRIN', yang digelar secara virtual, Senin (9/8/2021).
Sementara itu, terkait dengan upaya hukum yang bisa ditempuh, dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan, ada dua upaya hukum yang bisa dilakukan untuk meluruskan regulasi BRIN.
Sebelum menempuh upaya hukum, terbuka jalur advokasi kebijakan. Jalan ini ditempuh agar ada perubahan perpres dengan konsultasi publik yang luas dan memadai.
“Advokasi kebijakan ke DPR supaya mendorong (perubahan Perpres BRIN). Kan (DPR) bisa memanggil eksekutif. Bagaimana nih kok bisa perpres-nya seperti ini? Kalau ada kekuatan politik, seharusnya ada penekanan aktor untuk memaksa BRIN dan pihak lain untuk memaksa perubahan perpres,” ujar Bivitri.
Ihwal upaya hukum, ada dua jalan, yakni melalui uji materi ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Upaya hukum melalui uji materi ke MA selain dapat menyoal makna sebenarnya dari penjelasan Pasal 48 UU 11/2019. Juga bisa menyasar Perpres 33/2021 dengan mempersoalkan kesesuaian materinya dengan UU 11/2019 sebagai UU yang mendelegasikannya.
Sementara, upaya hukum melalui uji materi ke MK dapat menyoal Pasal 48 UU 11/2019 terhadap konstitusi.
"Uji materi ke MK tentu saja lebih banyak tantangannya untuk dapat mempertanyakan, memohon, dan mengujinya. Meski tidak mustahil, tetapi upaya hukum ini bakal terhambat jangka waktu dan kondisi di MK saat ini yang sedang sulit untuk kita prediksi. Kalau ke MA, dampaknya bisa langsung ke perpres. Bisa ada perubahan. Kelemahannya adalah proses yang tertutup,” ucap Bivitri.
Bivitri menyarankan, sebelum menempuh upaya hukum sebaiknya dioptimalkan langkah advokasi kebijakan.
Para pihak yang berkepentingan diminta merapatkan barisan untuk menyusun position paper yang berisi penjelasan mengapa Perpres 33/2021 harus diubah atau dibatalkan.
Position paper inilah yang kemudian dikomunikasikan dengan para aktor pembuat kebijakan.
Jika semua pintu sudah diketuk dan hasilnya tidak memuaskan, kata Bivitri, para pihak bisa mempertimbangkan menempuh langkah hukum.
"Karena langkah hukum itu hasilnya pasti dan ketika sudah diputuskan tidak ada alternatif lagi yang terbuka," pungkas Bivitri.